Sabtu, 11 November 2017

makalah hadis tentang tanggung jawab kepemimpinan

Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat:
Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah, dan dia melihat yang lainnya itu lebih baik darinya, maka pilihlah yang lebih baik dan tebuslah sumpahnya.”
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada dalil bahwa barang siapa yang bersumpah melakukan sesuatu amalan atau meninggalkannya.
Sementara melanggar itu lebih baik dari pada mengulur-ulur sumpah. Maka dia dianjurkan untuk melanggarnya dan diharuskan menebusnya (kaffarah) dan hal ini telah disepakati.”
Dalil yang lainnya:
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ
Abu Said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya :
Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu. (Bukhari, Muslim)
40 Hadits lain Tentang Pemimpin dan Penjelasanya
Hadis ke 1
Kesejahteraan rakyat adalah Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
Hadis ke 2

Pemimpin sebagai pelayan rakyat

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ

Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)
Penjelasan:
Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
Hads ke 7

Batas-batas kepatuhan rakyat terhadap pemimpin

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.
Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat ma’siyat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan ma’siyat itu?
Secara bahasa ma’siyat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna ma’siyat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna ma’siyat hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kem’siyatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kema’siyatan. Namun yang dimaksud kema’siyatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk ma’siyat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat ma’siyat. Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan demikian, kema’siyatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakayat terhadap pemimpinnya adalah kema’siyatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja kema’siyatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kema’siyatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.
Hadis ke 11
Hadits Tentang Pemimpin Memikul Tanggung Jawab
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.[1]
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[2]
Hadits Tentang Pemimpin Pelayan Masyarakat
حديث معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة
اخرجه البخارى فى 930 كتاب الاحكام: 8- باب من استرعى رعية فلم ينصح
Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[3]
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan

BAB I
PENDAHULUAN

Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.[1][1]
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Setiap Muslim Adalah Pemimpin
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
) اخرجه البخارى (
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.[2][2]
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[3][3]

B. Pemimpin Pelayan Masyarakat
حديث معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة  )  اخرجه البخارى(

Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya[4][4]
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.
Sebagaiman firman Allah ta’ala:

Artinya: “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)
Yakni janganlah bersikap tinggi terhadapa mereka, jangan merasa tinggi akan tetapi rendahkanlah walaupun kamu orang yang berkedudukan tinggi dibanding mereka, maka hendaklah tetap merendahkan diri.[5][5]
Asbabun nuzul ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan bahw ketika turun ayat وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الاَكْرَبِيْنَ , yaitu ayat sebelum ayat 215. Rasulullah saw memulai dakwahnya kepada keluarga terdekatnya. Hal ini menyinggung perasaan kaum muslimin (merasa terabaikan) sehingga Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat 215 sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin lainnya (diriwayatkan oleh ibnu Jabir yang bersumber dari ibnu Juaid).[6][6]
Maka dari itu, siapa saja yang berkuasa mengendalikan urusan umat Islam, baik dalam kedudukannya sebagai amir (gubernur), khalifah, kepala Negara/pemimpin rakyat dalam biang tugas tertentu, lalu dia dibebankan rakyatnya dan menjalankan pemerintahannya itu dengan hal-hal yang menimbulkan kesulitan bagi rakyatnya. Maka nabi mendoakan supaya sang pemimpin itu ditimpakan siksaan Tuhan.
Sebaliknya barang siapa yang menjadi pemimpin dan bertinak dengan lemah lembut. Maka Nabi mendoakan mudah-mudahan Tuhan juga lemah lembut terhadap dirinya.[7][7]

C. Batasan Taat Kepada Pemimpin
حديث عبد الله بن عمر رضى الله عنهما، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب فكره، ما لم يؤمن بمعصية، فإذا امر بمعصية فلا سمع ولاطاعة
) اخرجه البخارى (

Artinya: “hadits Abdullah ibnu umar ra. Dari Nabi saw beliau bersabda: mendengarkan dan mentaati merupakan kewajiban seorang muslim mengenai hal-hal yang ia sukai dan ia benci, sepanjang ia tidak diperintahkan berbuat durhaka. Maka jika diperintah berbuat durhaka, maka tidak lah boleh mendengarkan dan tidaklah boleh mengikutinya.[8][8]
Sabda Rasulullah saw: “wajib atas seorang muslim”, kalimat ini menunjukkan kewajiban. Maka wajib bagi seseorang muslim berdasarkan keislamannya untuk selalu mendengarkan dan menaati pemerintah. Baik dalam hal yang ia sukai maupun yang ia benci. Walaupun ia memerintahkan dengan sesuatu yang dibencinya, namun ia wajib melaksanakannya, kecuali jika perintah itu bermaksiat kepada Allah, maka ketaatan kepada Allah itu diatas segala ketaatan. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat terhadap khaliq.[9][9]
حديث علي رضي الله عنه قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم سرية وامر عليهم رجلا من الانصار وامرهم ان يطيعوهفغضب عليهم، وقال: اليس قد امر النبي صلى الله عليه وسلم ان تطيعونى؟ قالوا: بلى، قال: عزمت عليكم لما جمعتم حطبا واوقدتم نارا ثم دخلتم فيها فجمعوا حطبا. فأوقدوا. فلما هموا بالخل فقام ينظر بعضهم الى بعص، قال بعضهم: انما تبغنا النبي صلى الله عليه وسلم فرارا من النار افندخلها؟ فبينماهم كذالك اذ خمدت النار ، فسكن غضبه. فذكر النبي صلى الله عليه وسلم، قال: لو دخلوها ما خرجوا منها ابدا، انما الطاعة فى المعروف
Artinya:
Hadits Ali ra, ia berkata: Nabi saw mengirimkan pasukan tentara dan mengangkat seorang laki-laki dari golongan anshar untuk menjadi komanan pasukan itu. Dan Nabi memerintahkan pasukan itu agar menaatinya lalu komandan pasukan itu memarahi pasukan sambil mengatakan: bukankan Nabi saw sungguh telah menyuruh kalian untuk menaati ku. Mereka menjawab “ya, benar”. Ia berkata: “saya bermaksud agar kalian mengumpulkan kayu bakar, dan kamu nyalakan api lalu kamu sekalian masuk kedalamnya.” Maka mereka mengumpulkan kayu bakar, lalu mereka menyalakannya. Ketika mereka hendak masuk ke dalam api maka sebagian dari mereka melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian dari mereka berkata: “sesungguhnya kami mengikuti Nabi saw. agar terlepas dari api maka mengapakah kita akan memasukinya?” ketika mereka dalam keadaan demikian tiba-tiba api pun padam dan kemarahan komandan pun hilang. Lalu kasus tersebut disampaikan kepada Nabi saw. maka beliau bersabda: “seandainya mereka masuk ke dalam api itu, pastilah mereka tidak akan keluar dari padanya untuk selamanya, sesungguhnya kepatuhan itu adalah pada sesuatu yang baik.[10][10]
Firman Allah SWT:
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisa: 59)
Masih berkaitan dengan surah annisa ayat 59, al-hafidh ibnu hajar berpendapat bahwa maksud kisah Abdullah bin hudzafah, munasabah atau keterkaitan disangkut pautkan dengan alasan turunnya ayat ini (surah an-nisa: 59), karena dalam kisah itu dihasilkan adanya perbatasan antara taat kepada pemerintah (pimpnan) dan menolak perintah, ntuk terjun ke dalam api. Ayat ini turun memberikan petunjuk kepada mereka apabila berbantahan hendaknya kembali kepada Allah dan Rasulnya.[11][11]
Karena perintah penguasa itu terbagi tiga bagian:
  1. Perintah yang sesuai dengan yang diperintahkan Allah ta’ala maka wajib ditaati
  2. Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan metaati mereka apapun yang terjadi jika kamu disiksa oleh mereka disebabkan hal ini (tidak mentaati) maka mereka akan dibalas pada hari kiamat oleh Allah SWT
  3. Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak ada perintah atau larangan syar’I, di dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati termasuk orang-orang yang berdosa, dan penguasa berhak ember hukuman dengan sesuatu yang mereka pandang sesuai, karena telah melanggar perintah Allah dalam mentaati mereka.[12][12]
Maka dari itu wajib mendengar dan patuh kepada perintah pemimpinnya, selama yang diperintahkannya itu tidak merupakan perbutan maksiat.
Apabila yang diperintahkan itu merupakan perbuatan maksiat yang tidak dibenarkan oleh syara’, maka rakyat tidak boleh mendengar dan mematuhi perintah itu.[13][13]

D.  Hukuman Bagi Pemimpin Yang Menipu Rakyat

Artinya: Abu ja’la (ma’qil) bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat  kemudian ketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga. (buchary, muslim)

Kejujuran adalah modal yang paling mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya, staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu pula sebaliknya.
Namun secara garis besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini  adalah seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri tauladan ini  tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya. Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan, diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki si sorga. Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya  hukuman “haram masuk sorga” ini mencerminkan betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu rakayat.

E. Hadits Tentang Larangan Berambisi Menjadi Pemimpin
حديث عبد الرحمن بن سمرة، قال النبي صلى الله عليه وسلم: يا عبد الرحمن بن سمرة! لاتسأل الامارة، فانك ان اوتيتها من غير مسألة وكلت اليها وان اوتيتها من غير مسألةاعيت عليها
- اخرجه البخارى فى 83 كتاب الايمان والنذور: 1- باب قول الله تعالى: لايؤاخذه الله باللفوى فى ايمانكم

Artinya: “Abdurahman bin Samurah, ia berkata: Nabi saw bersabda: “wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta diangkat menjadi penguasa. Karena, jika kamu diberi kekuasaan lantaran permintaan, niscaya engkau dibiarkan (yakni tidak diberi pertolongan). Namun, jika kamu diberi kekuasaan bukan karena permintaan, niscaya kamu diberi pertolongan untuk melaksanakannya.”
Al-imarah maksudnya ialah menjadi pemimpin atas manusia atau menduduki posisi diatas mereka, baik besar maupun kecil.
Adapun pemimpin yang besar adalah yang menguasai perkara-perkara orang muslim secara umum. Sedangkan kepemimpinan secara khusus, seperti pemimpin pada sebuah sector di daerah-daerah yang mencakup pemerintahan yang lebih khusus.
Sebagaimana dengan hadits diatas, seseorang dilarang meminta jabatan atau kedudukan, karena seolah-olah meminta jabatan agar berkehidupan bagus, dan ia tidak memiliki bagian di akhirat nanti. Oleh karena itu meminta jabatan dilarang.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ø  Kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.
Ø  Meminta diangkat menjadi amir atau pemimpin dan berupaya untuk memperoleh pangkat itu makruh.
Ø  Perintah pernguasa terbagi tiga bagian
1)      Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala wajib ditaati
2)      Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka
3)      Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat perintah atau larangan syar’i, dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati maka termasuk orang-orang yang berdosa.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik di segi pembahasannya maupun susunan makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Lu’lu Wal Marjan. Semarang: Al-Ridha. 1993.

Al-Utsaimin, Syekh Muhammad Bin Shaleh. Syarah Riyadhus Shalihin. Jakarta Timur: Darussanah Press. 2009.

Shaleh, K.H.Q, Dkk. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Ayat Al-Qur’an). Bandung: CV Diponegoro. 1982.

Ad-Damsyiki, Ibnu Hamzah Alhusaini. Asbabul Wurud. Kalam Mulia.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Mutiara Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2003.

Muddasir. Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Bandung: CV Diponegoro. 1980.

Munawwar, Said Agil Husin. Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio Historis Kontekstual). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.


PENDAHULUAN

Gelar pemimpin umat adalah layak diberikan kepada mereka yang mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi umat itu dan menghantarkannya dengan selamat sampai pada tujuan yang dicita-citakan. Orang yang menghantarkan tidak harus berjalan di depan, kadang-kadang disamping, di tengah, di mana saja menurut jalan keadaan jalannya, diperlukan guna keselamatan orang yang diantarkannya.[14][1]
Tidak hanya sekedar mengantar para anggotanya agar sampai pada tujuan yang diharapkannya. Seorang pemimpin juga harus memilki suatu komitmen yang didukung oleh kemampuan, integritas, kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya dan juga dia memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun dewasa ini kalau kita melihat realita yang ada sulit sekali kita mendapati pemimpin yang memiliki kriteria yang telah disebutkan di atas. Banyak pemimpin kita yang sudah tidak lagi mementingkan nasib dan kemauan rakyat. Mereka hanya mementingkan ego pribadi demi mementingkan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Mereka tidak pernah tahu kalau suatu saat kepemimpinannya bakal dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Adanya hal semacam ini dikarenakan lemahnya tingkat keimanan seorang pemimpin sehingga dia mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi tersebut, maka perlu adanya reformulasi ulang terhadap bagaimana cara menjadi pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab terhadap rakyatnya dan mampu melayani masyarakat dengan baik dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agama. Melalui pembacaan hadis, makalah yang kami buat berusaha menyajikan suatu pemahaman terhadap bagaimana mencetak pemimpin yang bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara baik
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ø  Kamu semua adalah pemimpin dan semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.
Ø  Meminta diangkat menjadi amir atau pemimpin dan berupaya untuk memperoleh pangkat itu makruh.
Ø  Perintah pernguasa terbagi tiga bagian
1)      Perintah yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah ta’ala wajib ditaati
2)      Mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak perlu mendengarkan dan mentaati mereka
3)      Mereka memerintahkan sesuatu yang di dalamnya tidak terdapat perintah atau larangan syar’i, dalam hal ini wajib mentaati mereka, jika tidak mentaati maka termasuk orang-orang yang berdosa.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik di segi pembahasannya maupun susunan makalahnya, oleh karena itu penulis menyarankan kepada pembaca agar sudi kiranya memberikan kritikan dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini di masa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Lu’lu Wal Marjan. Semarang: Al-Ridha. 1993.

Al-Utsaimin, Syekh Muhammad Bin Shaleh. Syarah Riyadhus Shalihin. Jakarta Timur: Darussanah Press. 2009.

Shaleh, K.H.Q, Dkk. Asbabun Nuzul (Latar Belakang Historis Turunnya Ayat Ayat Al-Qur’an). Bandung: CV Diponegoro. 1982.

Ad-Damsyiki, Ibnu Hamzah Alhusaini. Asbabul Wurud. Kalam Mulia.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Mutiara Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2003.

Muddasir. Ilmu Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Bandung: CV Diponegoro. 1980.

Munawwar, Said Agil Husin. Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosio Historis Kontekstual). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.




[1][1] Thariq M As-Suwaidan dan  Faishal Umar Basyarahil, Melahirkan Pemimpin Masa Depan (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 301
[2][2] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan, (Semarang: Al-Ridha, 1993), Hal. 562-563

[3][3] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalhin, Jilid 2, Cet. 2, (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009), Hal. 1030-1031.
[4][4] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., Hal. 263-264
[5][5] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit, Hal. 1029-1030
[6][6] Shaleh, Dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Cet. 3, (Bandung: Cv Diponegoro, 1982), Hal. 370
[7][7] Ibnu Hamzah Al-Husaini Ad-Damsyiki, Asbabul Wurud, Kalam Mulia, Hal. 352
[8][8] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., Hal. 569-570
[9][9] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit, Hal.1053-1054

[10][10] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., Hal. 570-571
[11][11] Shaleh, Dkk, Op. Cit., Hal. 138-139
[12][12] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Op. Cit, Hal. 1053-1056
[13][13] Tengku Muhammd Hasbi As-Shiddieqy, Op. Cit., Hal. 29

makalah hadis tentang tanggung jawab kepemimpinan

Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat: Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari A...