KATA
PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Hukum Ekonomi Syariah tentang Akad ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Hukum Ekonomi Syariah tentang Akad ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Hukum Ekonomi Syariah tentang Akad ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Medan, Maret 2016
Penyusun
BAB
I
Pendahuluan
Alquran sebagau pegangan hidup umat
Islam telah mengatur kegiatan Muamalah secara eksplisits, dan memandang
Muamalah sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga
Alquran sangat mendorong dan memotivasi umat untuk melakukan transaksi dalam
bermuamalah di kehidupan mereka.
Alquran mengakui hak individu dan
kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa
cara paksaan. Alquran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi
apa saja, sesuai yang dikehendaki dengan batasa-batas yang ditentukan oleh
syariah Islam.
Pengakuan Alquran terhadap pemilikan
harta benda, merupakan dasar legalitas seorang muslim untuk mengambil keputusan
yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia menggunakan, menjual atau
menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Perlu diingatkan bahwa
legalitas dan kebebasan diatas, jangan diartikan dapat menghapus kan semua
larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan bermuamalah.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
AKAD
1.
Pengertian Akad Menurut Islam
Pertama : Kata ‘aqd (akad) dalam bahasa Arab, sebenarnya
memiliki arti mangikat dengan ketat, bergabung, mengunci, menahan atau dengan
kata lain membuat perjanjian yang erat, sama seperti mengikat tali. Orang Arab
juga menggunakan kata tersebut untuk mengatakan tentang kepercayaan dan
ketetapan yang teguh. Didalam kamus Lisan Al ‘Arab, kita membaca, “Mereka
berkata, “aqad al ‘ahd” berarti ‘membuat kesepakatan dan “aqad al
yamin” berarti ‘memberikan sumpah’, dan dalam satu tata kata yang sama
terdapat istilah “oqdat al nikah” berarti persetujuan atau kesepakatan
pernikahan. Kata jamak dari kata ‘oqud disebut di sebut dalam kitab suci
Al-Quran, di dalam pernyataan jujur untuk menjaga kesepakatan mereka, simak
firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah (5) : 1
يا
أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai
oran-orang yang beriman, patuhilah akad-akad itu,
Dalam bahasa Indonesia istilah Akad
yaitu “kontrak”, yang pengertiannya sama dengan perjanjian. Istilah kontrak
merupakan terjemahan dari “contract” atau “agreement” (bahasa Inggris) dan “overeenkomst”
(bahas Belanda). Kontrak dalam bahasa Arab disebut dengan akad yang berasal
dari kata Al-Aqdun yang berarti ikatan atau ikatan tali. Kata “akad”
secara Terminologi Fikih adalah perikatan antara Ijab (penawaran) dengan Kabul
(penerimaan) secara yang dibenarkan syara’.[1]
Dengan adanya suatu akad maka para
pihak terikat oleh ketentuan hukum Islam yang berupa hak-hak dan pemenuhan
kewajiban-kewajiban (iltizam) yang harus diwujudkan. Oleh karena itu,
akad harus dibentuk oleh hal-hal yang dibenarkan syarih. Sahnya suatu akad
menurut hukum Islam ditentukan terpenuhinya Rukun dan Syarat akad. Rukun adalah
sesuatu yang harus ada dalam kontrak. Sedangkan Syarat adalah hal yang sangat
berpemgaruh atas keberadaan sesuatu, tapi bukan merupakan bagian atau unsur
pembentuk dari sesuatu tersebut. Ini berarti apabila syarat tidak ada maka
sesuatu tersebut juga tidak akan terbentuk.[2]
Masing-masing bentuk akad memiliki karakteristik yang khas, tetapi secara umum
setiap akad mengandung rukun.
Beberapa tafsiran dari kitab suci
Alquran menyatakan bahwa kata ‘aqud tersebut dalam versi arti
kesepakatan ataupun akad, sedangkan yang lain-lainnya menyebutkan kata tersebut
berarti kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia. Di dalam penjelasan versi
lain ini, Al Zajjaj mengatakan : ” Allah SWT mengalamtkan pernyataan jujur
mereka untuk menjaga kewajiban Dia dimana Dia akan memaksa mereka, dan menjaga
Aqad dimana mereka buat diantara mereka
sendiri dengan berdasarkan dengan pernyataan-pernyataan dari agama.”
Dalam versi lain di Alquran, pernyataan
Allah SWT untuk kejujuran dalam menjaga kewajiban, bahwa Dia akan memaksa mereka
ketika mereka memegang kepercayaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah
An-Nahl (16) : 91
وَ
أَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذا عاهَدْتُمْ وَ لا تَنْقُضُوا الْأَيْمانَ بَعْدَ
تَوْكيدِها وَ قَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ
ما تَفْعَلُونَ
Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Allah SWT juga menyatakan kejujuran
untuk menjaga bagian dari persetujuan yang mereka raih dengan terpuja dan tidak
beriman, sebagaimana Firman-Nya dalam Surah At-Taubahh (9) : 4
إِلاَّ
الَّذينَ عاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئاً وَ لَمْ
يُظاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَداً فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلى
مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقينَ
Kecuali
orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi per-janjianmu) dan tidak (pula)
mereka membantuseseorang yang memusuhi kamu. Maka terhadap mereka itu
penuhilahjanjinya sampai bataswaktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa.
Kata ‘aqd memiliki beberapa
pengertian seperti “bentuk pondasi” dalam kata bentuk pondasibangunan.hal itu
juga akan digunakan untuk menggambarkan bahasa dengan sifat keduniawian dan kegandaan
makna. Di dalam Hadits dari Ibn ‘Abbas mengomentari tentang versi Qur’anic, kami
membaca tentang ‘aqd berarti kesepaktan, persetujuan, dan iman. Dalam
pengguanaan golongan bahasaArab, kita membaca bahwa manusia masih miskindan
lemah untuk melakukan apapun.
Kedua : kata akad dalam penggunaan hukum Islamberarti perjanjian
dan persetujuan diantara dua orang secara legal, berpengaruh dan bersifat
mengikat. Selain itu, akad juga diidentifinisikan oleh Muhammad Qadri Basha
sebagai “tampilan dari penggabungan antara proposal positif buatan dari salah
satu kelompok dan penerimaan dari kelompok-kelompok lainyang searah yang
memilki pengaruh dengan subjek persoalan dalam akad tersebut, “ ‘Aqd
diartikan sebagai “gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan
penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab
adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan
dari penawaranyang disebutkan oleh pihak pertama.
2.
Pengertian Akad dari Segi Aturan Buatan Manusia
Beberapa hukum adat mendefenisikan akad sebagai “persetujuan antara
dua kehendak untuk memulai suatu kegiatan dengan pengaruh legal, yang bisa
mengorganisasi, mentransfer, memodifikasii atau mengakhiri komitmen”.
Dengan demikian, terlihat bahwa akaddalam pengertian aturan buatan
manusia adalah persetujuan antara dua kehendak dihasilkan dengan pengaruh
legal. Dalam kegiatan penjualan, merupakan akad antara penjual dan pembayar
denganpenjual membentuk akad ketika dirinya akan mentransfer kepada pembeli
hakmilik atas sesuatu atau bentukbenda bernilai keuangan lainnya yang dapat
disesuaikan dengan harga moneter. Jadi, tugas dari penjual ialah mentransfer
kepemilikan subjek dari akad kepada pembayar dan bagian untuk pembayar ialah
membayar sejumlah harga kepada penjual. Pengaruh legal dari transaksi ini ialah
pembeli mempunyai kepemilkan subjek dari persetujuan tersebut. Berdasarkan hukun
Adat Mesir, transfer tersebut dapat meliputi hak milik sama baiknya dengan
benda bernilai lainnya. Hal pentingnya ialah di dalamnya harus ada pengaruhg
legal mengikuti dari transaksi akad tersebut. Sebagai contoh, yakni memulai
kesepakatan perihal sewa, transfer perjanjian perihal uang muka, perjanjian
akhir perihal penghapusan pinjaman dari kreditor, dan modifikasi perjanjian
tentang pengunduran pembayaran.
Mengenai perjanjian, ini adalah “persetujuan antara dua atau lebih
kehendaj untuk memulau, mentrasfer, modifikasi atau akhir dari suatu
perjanjian.” Dengan demikian, ini merupakan hal yang datang nya bersamaan dari
dua atau lebih kehendak untuk memulai suatu posisi dalam hukum. Hasil dari
perjanjian ialah pemulaian, pengakhiran atau pentransferan komitmen.
Dengan demikian, mengundang teman untuk makan malam, memberikan
seseorang bantuan atau menjanjikan seseorang imbalan adalah keseluruhan contoh
dari perjanjian dan bukan akad, sebab mereka melakukannya tanpa pengaruh dari
legal.
Perbedaan antara akad dan perjanjian buatan manusia diamati dalam
hukum adat Francis, sebab defenisi dari akad di dalam artikan 1101 keadaan
adalah “persetujuan dengan menyetujui seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau menjauhkan diri dari melakukan
sesuatu terhadap orang lain atau sekelompok orang”.
Perbedaan ini kemudian membuat persetujuan baik, dan cabang /
bagian dari akad sehubungan itu. Akan tetapi, di dalamnya praktik konsikuensi
tidak penting dan ini lah mengapa hal tersebut tidak diperhatikan oleh banyak
ahli hukum.
Perbedaan antara pengertian akad dalam islam dan dalam hukum adat
adalah tepat untuk menunjukkan bahwa defenisi dalam syariah lebih kuat dan
lebih beralasan. Hal ini karena kehendaknya adalah sesuatu tersembunyi yang
tidak dapat diketahui, tetapi dengan nyata di tandai atau disaksikan seperti
percakapan, tindakan atau isyarat.
RUKUN
DAN UNSUR AKAD
A.
Rukun Akad
1.
Sighah
Adanya pernyataan pihak untuk melakukan ijb dan qabul dari kedua
belah pihak, boleh dengan lafaz / ucapan atau dengan tulisan. Sighah haruslah
selaras dengan ijab dan qabul-nya. Apbila suatu pihak menawarkan (ijab) benda A
dengan harga Rp100, pihak lain harus menerima (qabul) dengan menyebutkan benda
A senilai Rp 100 pula, bukan benda B yang harganya Rp 150. Dalam sighah, kedua
belah pihak harus jelas menyatakan peawarannya dari pihak yang lain harus
dengan jelas menerima tawarannya (trasparansi). Qabul harus langsung di ucapkan
setelah ijab diucapkan, ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang
lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab di tawarkan hari dan
dijawab dua hari kemudian, itu tidaklah sah. Ijab dan qabul juga harus dilkukan
didalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus
didalam satu majelis yang sama.
2.
Al Aqidan
Adanya
para pihak yang akan melakukan akad. Kedua belah pihak yang akan melakukan akad
iniharus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu
negar), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal yang sehat,
dewasa, (rushd), bertanggungjawab dalam bertindak, tidak boros, dan dapat
dipercaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.
3.
Mahallu al-aqd
Adanya objek akad, yaitu jasa atau benda yang berharga dan objek
akad tersebut tidak di larang oleh syariah. Objek akad yang dilarang (haram)
oleh hukum Islam adalah Alkohol, darah, bangkai, dan daging babi.
Kepemilikan dari objek harus sudah berada pada satu pihak, dengan
kata lain, objek akad harus ada pada saat akad dilaksanakn, kecuali pada
transaksi salam dan istisna. Objek akad harus sudah diketahui oleh kedua belah
pihak, baik beratnya, harganya, spesifikasinya, modelnya maupun kwalitasnya.
Perlu diperhatikan dalam hukum Islam, seorang tidak diperbolehkan untuk menjual
sesuatu yang bukan miliknya. Contohnya, menjual burang-burang yang masih
terbang di udara atau menjual ikan-ikan yang masih berenang di lautan lepas,
karena tidak jelas berapa jumlah dan sulit menentukan harga pastinya, yang
berakibat pada adanya unsur ketidakpastian atau gharar. Ketidakpastian atau
gharar ini dapat membatalkan akad, sama halnya dengan riba (interest / bunga
bank) dan maisir (judi). Ketiga unsur tersebut harus dihindari dalam transaksi
yang menggunakan akad syariah.
4.
Maudhu Akad
Adanya tujuan yang jelas mengapa suatu akag perlu dilakukan, yang
disertai dengan jelas jenis transaksi yang dilakukan sehingga para pihak
menjadi jelas dan yakin.
B.
Unsur Akad dalam Hukum Islam
Dalam bahasa Arab rukn berarti unsur atau pendukung dari sesuatu.
Seperti yang dilihat, akad berdasarkan hukum Islam dapat didefenisikan sebagai
“tampilan dari penggabungan antara proposal positif buatan dari salah satu
pihak yang terlibat dalam akad dan penerimaan dari pihak lain yang terlibat
dalam akad tersebut yang searah, yang memiliki pengaruh dengan subjek persoalan
dalam akad tersebut. Dengan demikian, ijab “proposal positif” dan qabul
“penerimaan” adalah dua prinsip atau unsur dari akad. Akad berdiri diatas
hal-hal tersebut dan pengaruh dari akad tidak dapat terwujud, kecuali dengan
direferensikan hal tersebut”.
Dengan ijab, kita mengartikannya sebagai konfirmasi. Penawaran
dibuat oleh pihak pertama dalam akad yang disebut ijab karena hal tersebut
memberikan dan mengkonfirmasi kebebasan penerimaan dari pihak yang kedua. Jika
pihak yang kedua menyetujuinya, pernyataannya disebut qabul (penerimaan). Ini
adalah alasan sebutan untuk pernyataan pihak pertama ialah ijab dan pernyataan
dari pihak kedua disebut qabul. Penyatuan antara ijab dan qabul akan membentuk
akad.
Akad terkonfirmasi oleh penyatuan pernyataan dua orang. Hal itu
dapat juga di anggap terkonfirmasi apabila percakapan dari satu pihak
dilengkapi dengan penunjukan aksi maksud dari pihak lain, penyatuan dan
pengaruh akad akan tertera dalam suatu keadaan baru dari perkara.
Salah satu pengaruh / akibat dari akad adalah kemampuan dari akad
tersebut untuk pelaksanaan. Hal ini dapat meningkatkan pilihan bagi para pihak
yang terkait dalam akad. Hal tersebut dapat segera berpengaruh, tertunda atau
meninggalkan persetujuan timbal balik oleh pihak pihak yang ada.
Terlihat bahwa konfirmasi dan penerimaan adalah dua unsur dalam
akad. Kita seharusnya menambahkan bahwa akad memiliki kondisi lain yang di
perlukan agar bisa sah, baik dalam penerimaan maupun pengaruhnya.
Kondisi-kondisi tersebut, yaitu :
a.
Eksistensi dari dua pihakl yang berkualifikasi secara layak dan
tepat,
b.
Bentuk,
c.
Kedudukan dari referensi / keterangan dan subjek permasalahan
Syarat-syarat
dan Tujuan Akad
A.
Syarat-syarat akad
Rukun
dan syarat sahnya akad ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut
1.
Pelaku yaitu para pihak yang melakukan akad (penjual dan pembeli,
penyewa dan yang menyewakan, karyawan dan majikan, shahibul maal dan mudharib,
mitra dengan mitra dalam musyawarakah, dan lain sebagainya).Untuk pihak melakukan akad harus memenuhi syarat yaitu orang yang
merdeka, mukalaf dan orang sehat akalnya.
2.
Objek akad merupakan sebuah konsikuensi yang harus ada dengan
dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang dagangan,
objek mudharabah dan musyawarakah adalah modal dan kerja, objek sewa menyewa
adalah manfaat atas barang yang disewakan dan seterusnya.
3.
Ijab Kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan
mereka saling rida. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang
terpaksa melakukannya (QS 4;29), dan oleh karenanya akad dapat menjadi batal.
Dengan demikian bila terdapat penipuan (tadlis), paksaaan (ikhrah) atau tidak
terjadi ketidaksesuaian objek akad karena kesemuanya ini dapat menimbulakn
ketidakrelaan salah satu pihak maka akad dapat menjadi batal walaupun ijab
Kabul telah dilaksanakan.
B.
Tujuan akad
Tujuan
akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hokum perikatan
disebut “prestasi”[3].
Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan
syariah[4].
Sebagai contoh A menjual anggur pada B. A mengetahui bahwa tujuan B membeli
anggur untuk dibuat minuman keras dan dijual. Maka jual beli tersebut tidak
boleh dilakukan karena tujuan dari jual beli tersebut berentangan dengan
syariah dan haram hukumnya, dan akad tersebut adalah batal. Akan tetapi,
apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan dari B membeli anggur maka
perikatan terrsebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan.
Syarat-syarat
dari tujuan akad, yaitu:
1.
Tujuannya bukan merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak
yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2.
Tujuannya harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan
akad, dan
3.
Tujuan akad harus dibenarkan syara’.[5]
[1] A. Shomad, 2010. Hukum Islam penormaan prinsip dalam Syariah dalam
Hukum Indonesia. Jakarta, Prenada Media, hal 177
[2] Gemala Dewi. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan
PerasuriansianSyariah di Indonesia. Jakarta, Kencana, 2004, hal 14
[3] Gemala Dewi, OP.cit, hal. 17.
[4] Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlint, Op.cit , hal. 62.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar