Kamis, 09 November 2017

makalah hukum ekonomi islam tentang akad



KATA PENGANTAR


Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Ekonomi Syariah tentang Akad ini.
            Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
   
            Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
   
            Akhir kata kami berharap semoga makalah Hukum Ekonomi Syariah tentang Akad  ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
   
                                                                                     


Medan,  Maret 2016
   
       
 Penyusun




BAB I

Pendahuluan
            Alquran sebagau pegangan hidup umat Islam telah mengatur kegiatan Muamalah secara eksplisits, dan memandang Muamalah sebagai sebuah pekerjaan yang menguntungkan dan menyenangkan, sehingga Alquran sangat mendorong dan memotivasi umat untuk melakukan transaksi dalam bermuamalah di kehidupan mereka.
            Alquran mengakui hak individu dan kelompok untuk memiliki dan memindahkan suatu kekayaan secara bebas dan tanpa cara paksaan. Alquran memberikan kemerdekaan penuh untuk melakukan transaksi apa saja, sesuai yang dikehendaki dengan batasa-batas yang ditentukan oleh syariah Islam.
            Pengakuan Alquran terhadap pemilikan harta benda, merupakan dasar legalitas seorang muslim untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan harta miliknya, apakah dia menggunakan, menjual atau menukar harta miliknya dengan bentuk kekayaan yang lain. Perlu diingatkan bahwa legalitas dan kebebasan diatas, jangan diartikan dapat menghapus kan semua larangan tata aturan dan norma yang ada di dalam kehidupan bermuamalah.


BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN AKAD
1.    Pengertian Akad Menurut Islam
Pertama : Kata ‘aqd (akad) dalam bahasa Arab, sebenarnya memiliki arti mangikat dengan ketat, bergabung, mengunci, menahan atau dengan kata lain membuat perjanjian yang erat, sama seperti mengikat tali. Orang Arab juga menggunakan kata tersebut untuk mengatakan tentang kepercayaan dan ketetapan yang teguh. Didalam kamus Lisan Al ‘Arab, kita membaca, “Mereka berkata, “aqad al ‘ahd” berarti ‘membuat kesepakatan dan “aqad al yamin” berarti ‘memberikan sumpah’, dan dalam satu tata kata yang sama terdapat istilah “oqdat al nikah” berarti persetujuan atau kesepakatan pernikahan. Kata jamak dari kata ‘oqud disebut di sebut dalam kitab suci Al-Quran, di dalam pernyataan jujur untuk menjaga kesepakatan mereka, simak firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah (5) : 1
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai oran-orang yang beriman, patuhilah akad-akad itu,
            Dalam bahasa Indonesia istilah Akad yaitu “kontrak”, yang pengertiannya sama dengan perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari “contract” atau “agreement”  (bahasa Inggris) dan “overeenkomst” (bahas Belanda). Kontrak dalam bahasa Arab disebut dengan akad yang berasal dari kata Al-Aqdun yang berarti ikatan atau ikatan tali. Kata “akad” secara Terminologi Fikih adalah perikatan antara Ijab (penawaran) dengan Kabul (penerimaan) secara yang dibenarkan syara’.[1]
            Dengan adanya suatu akad maka para pihak terikat oleh ketentuan hukum Islam yang berupa hak-hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban (iltizam) yang harus diwujudkan. Oleh karena itu, akad harus dibentuk oleh hal-hal yang dibenarkan syarih. Sahnya suatu akad menurut hukum Islam ditentukan terpenuhinya Rukun dan Syarat akad. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam kontrak. Sedangkan Syarat adalah hal yang sangat berpemgaruh atas keberadaan sesuatu, tapi bukan merupakan bagian atau unsur pembentuk dari sesuatu tersebut. Ini berarti apabila syarat tidak ada maka sesuatu tersebut juga tidak akan terbentuk.[2] Masing-masing bentuk akad memiliki karakteristik yang khas, tetapi secara umum setiap akad mengandung rukun.
            Beberapa tafsiran dari kitab suci Alquran menyatakan bahwa kata ‘aqud tersebut dalam versi arti kesepakatan ataupun akad, sedangkan yang lain-lainnya menyebutkan kata tersebut berarti kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia. Di dalam penjelasan versi lain ini, Al Zajjaj mengatakan : ” Allah SWT mengalamtkan pernyataan jujur mereka untuk menjaga kewajiban Dia dimana Dia akan memaksa mereka, dan menjaga Aqad dimana mereka  buat diantara mereka sendiri dengan berdasarkan dengan pernyataan-pernyataan dari agama.”
            Dalam versi lain di Alquran, pernyataan Allah SWT untuk kejujuran dalam menjaga kewajiban, bahwa Dia akan memaksa mereka ketika mereka memegang kepercayaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nahl (16) : 91
وَ أَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذا عاهَدْتُمْ وَ لا تَنْقُضُوا الْأَيْمانَ بَعْدَ تَوْكيدِها وَ قَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ ما تَفْعَلُونَ
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
            Allah SWT juga menyatakan kejujuran untuk menjaga bagian dari persetujuan yang mereka raih dengan terpuja dan tidak beriman, sebagaimana Firman-Nya dalam Surah At-Taubahh (9) : 4
إِلاَّ الَّذينَ عاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئاً وَ لَمْ يُظاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَداً فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلى‏ مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقينَ
Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi per-janjianmu) dan tidak (pula) mereka membantuseseorang yang memusuhi kamu. Maka terhadap mereka itu penuhilahjanjinya sampai bataswaktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
            Kata ‘aqd memiliki beberapa pengertian seperti “bentuk pondasi” dalam kata bentuk pondasibangunan.hal itu juga akan digunakan untuk menggambarkan bahasa dengan sifat keduniawian dan kegandaan makna. Di dalam Hadits dari Ibn ‘Abbas mengomentari tentang versi Qur’anic, kami membaca tentang ‘aqd berarti kesepaktan, persetujuan, dan iman. Dalam pengguanaan golongan bahasaArab, kita membaca bahwa manusia masih miskindan lemah untuk melakukan apapun.
Kedua : kata akad dalam penggunaan hukum Islamberarti perjanjian dan persetujuan diantara dua orang secara legal, berpengaruh dan bersifat mengikat. Selain itu, akad juga diidentifinisikan oleh Muhammad Qadri Basha sebagai “tampilan dari penggabungan antara proposal positif buatan dari salah satu kelompok dan penerimaan dari kelompok-kelompok lainyang searah yang memilki pengaruh dengan subjek persoalan dalam akad tersebut, “ ‘Aqd diartikan sebagai “gabungan atau penyatuan dari penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul)” yang sah sesuai dengan hukum Islam. Ijab adalah penawaran dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari penawaranyang disebutkan oleh pihak pertama.
2.    Pengertian Akad dari Segi Aturan Buatan Manusia
Beberapa hukum adat mendefenisikan akad sebagai “persetujuan antara dua kehendak untuk memulai suatu kegiatan dengan pengaruh legal, yang bisa mengorganisasi, mentransfer, memodifikasii atau mengakhiri komitmen”.
Dengan demikian, terlihat bahwa akaddalam pengertian aturan buatan manusia adalah persetujuan antara dua kehendak dihasilkan dengan pengaruh legal. Dalam kegiatan penjualan, merupakan akad antara penjual dan pembayar denganpenjual membentuk akad ketika dirinya akan mentransfer kepada pembeli hakmilik atas sesuatu atau bentukbenda bernilai keuangan lainnya yang dapat disesuaikan dengan harga moneter. Jadi, tugas dari penjual ialah mentransfer kepemilikan subjek dari akad kepada pembayar dan bagian untuk pembayar ialah membayar sejumlah harga kepada penjual. Pengaruh legal dari transaksi ini ialah pembeli mempunyai kepemilkan subjek dari persetujuan tersebut. Berdasarkan hukun Adat Mesir, transfer tersebut dapat meliputi hak milik sama baiknya dengan benda bernilai lainnya. Hal pentingnya ialah di dalamnya harus ada pengaruhg legal mengikuti dari transaksi akad tersebut. Sebagai contoh, yakni memulai kesepakatan perihal sewa, transfer perjanjian perihal uang muka, perjanjian akhir perihal penghapusan pinjaman dari kreditor, dan modifikasi perjanjian tentang pengunduran pembayaran.
Mengenai perjanjian, ini adalah “persetujuan antara dua atau lebih kehendaj untuk memulau, mentrasfer, modifikasi atau akhir dari suatu perjanjian.” Dengan demikian, ini merupakan hal yang datang nya bersamaan dari dua atau lebih kehendak untuk memulai suatu posisi dalam hukum. Hasil dari perjanjian ialah pemulaian, pengakhiran atau pentransferan komitmen.
Dengan demikian, mengundang teman untuk makan malam, memberikan seseorang bantuan atau menjanjikan seseorang imbalan adalah keseluruhan contoh dari perjanjian dan bukan akad, sebab mereka melakukannya tanpa pengaruh dari legal.
Perbedaan antara akad dan perjanjian buatan manusia diamati dalam hukum adat Francis, sebab defenisi dari akad di dalam artikan 1101 keadaan adalah “persetujuan dengan menyetujui seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau menjauhkan diri dari melakukan sesuatu terhadap orang lain atau sekelompok orang”.
Perbedaan ini kemudian membuat persetujuan baik, dan cabang / bagian dari akad sehubungan itu. Akan tetapi, di dalamnya praktik konsikuensi tidak penting dan ini lah mengapa hal tersebut tidak diperhatikan oleh banyak ahli hukum.
Perbedaan antara pengertian akad dalam islam dan dalam hukum adat adalah tepat untuk menunjukkan bahwa defenisi dalam syariah lebih kuat dan lebih beralasan. Hal ini karena kehendaknya adalah sesuatu tersembunyi yang tidak dapat diketahui, tetapi dengan nyata di tandai atau disaksikan seperti percakapan, tindakan atau isyarat.





RUKUN DAN UNSUR AKAD
A.    Rukun Akad
1.      Sighah
Adanya pernyataan pihak untuk melakukan ijb dan qabul dari kedua belah pihak, boleh dengan lafaz / ucapan atau dengan tulisan. Sighah haruslah selaras dengan ijab dan qabul-nya. Apbila suatu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga Rp100, pihak lain harus menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai Rp 100 pula, bukan benda B yang harganya Rp 150. Dalam sighah, kedua belah pihak harus jelas menyatakan peawarannya dari pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (trasparansi). Qabul harus langsung di ucapkan setelah ijab diucapkan, ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab di tawarkan hari dan dijawab dua hari kemudian, itu tidaklah sah. Ijab dan qabul juga harus dilkukan didalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus didalam satu majelis yang sama.
2.      Al Aqidan
Adanya para pihak yang akan melakukan akad. Kedua belah pihak yang akan melakukan akad iniharus sudah mencapai usia akil-baligh (sesuai hukum yang berlaku di suatu negar), harus dalam keadaan waras (tidak gila) atau mempunyai akal yang sehat, dewasa, (rushd), bertanggungjawab dalam bertindak, tidak boros, dan dapat dipercaya untuk mengelola masalah keuangan dengan baik.
3.      Mahallu al-aqd
Adanya objek akad, yaitu jasa atau benda yang berharga dan objek akad tersebut tidak di larang oleh syariah. Objek akad yang dilarang (haram) oleh hukum Islam adalah Alkohol, darah, bangkai, dan daging babi.
Kepemilikan dari objek harus sudah berada pada satu pihak, dengan kata lain, objek akad harus ada pada saat akad dilaksanakn, kecuali pada transaksi salam dan istisna. Objek akad harus sudah diketahui oleh kedua belah pihak, baik beratnya, harganya, spesifikasinya, modelnya maupun kwalitasnya. Perlu diperhatikan dalam hukum Islam, seorang tidak diperbolehkan untuk menjual sesuatu yang bukan miliknya. Contohnya, menjual burang-burang yang masih terbang di udara atau menjual ikan-ikan yang masih berenang di lautan lepas, karena tidak jelas berapa jumlah dan sulit menentukan harga pastinya, yang berakibat pada adanya unsur ketidakpastian atau gharar. Ketidakpastian atau gharar ini dapat membatalkan akad, sama halnya dengan riba (interest / bunga bank) dan maisir (judi). Ketiga unsur tersebut harus dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah.
4.      Maudhu Akad
Adanya tujuan yang jelas mengapa suatu akag perlu dilakukan, yang disertai dengan jelas jenis transaksi yang dilakukan sehingga para pihak menjadi jelas dan yakin.

B.     Unsur Akad dalam Hukum Islam
Dalam bahasa Arab rukn berarti unsur atau pendukung dari sesuatu. Seperti yang dilihat, akad berdasarkan hukum Islam dapat didefenisikan sebagai “tampilan dari penggabungan antara proposal positif buatan dari salah satu pihak yang terlibat dalam akad dan penerimaan dari pihak lain yang terlibat dalam akad tersebut yang searah, yang memiliki pengaruh dengan subjek persoalan dalam akad tersebut. Dengan demikian, ijab “proposal positif” dan qabul “penerimaan” adalah dua prinsip atau unsur dari akad. Akad berdiri diatas hal-hal tersebut dan pengaruh dari akad tidak dapat terwujud, kecuali dengan direferensikan hal tersebut”.
Dengan ijab, kita mengartikannya sebagai konfirmasi. Penawaran dibuat oleh pihak pertama dalam akad yang disebut ijab karena hal tersebut memberikan dan mengkonfirmasi kebebasan penerimaan dari pihak yang kedua. Jika pihak yang kedua menyetujuinya, pernyataannya disebut qabul (penerimaan). Ini adalah alasan sebutan untuk pernyataan pihak pertama ialah ijab dan pernyataan dari pihak kedua disebut qabul. Penyatuan antara ijab dan qabul akan membentuk akad.
Akad terkonfirmasi oleh penyatuan pernyataan dua orang. Hal itu dapat juga di anggap terkonfirmasi apabila percakapan dari satu pihak dilengkapi dengan penunjukan aksi maksud dari pihak lain, penyatuan dan pengaruh akad akan tertera dalam suatu keadaan baru dari perkara.
Salah satu pengaruh / akibat dari akad adalah kemampuan dari akad tersebut untuk pelaksanaan. Hal ini dapat meningkatkan pilihan bagi para pihak yang terkait dalam akad. Hal tersebut dapat segera berpengaruh, tertunda atau meninggalkan persetujuan timbal balik oleh pihak pihak yang ada.
Terlihat bahwa konfirmasi dan penerimaan adalah dua unsur dalam akad. Kita seharusnya menambahkan bahwa akad memiliki kondisi lain yang di perlukan agar bisa sah, baik dalam penerimaan maupun pengaruhnya. Kondisi-kondisi tersebut, yaitu :
a.       Eksistensi dari dua pihakl yang berkualifikasi secara layak dan tepat,
b.      Bentuk,
c.       Kedudukan dari referensi / keterangan dan subjek permasalahan

Syarat-syarat dan Tujuan Akad
A.    Syarat-syarat akad
Rukun dan syarat sahnya akad ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut
2.      Objek akad merupakan sebuah konsikuensi yang harus ada dengan dilakukannya suatu transaksi tertentu. Objek jual beli adalah barang dagangan, objek mudharabah dan musyawarakah adalah modal dan kerja, objek sewa menyewa adalah manfaat atas barang yang disewakan dan seterusnya.
3.      Ijab Kabul merupakan kesepakatan dari para pelaku dan menunjukkan mereka saling rida. Tidak sah suatu transaksi apabila ada salah satu pihak yang terpaksa melakukannya (QS 4;29), dan oleh karenanya akad dapat menjadi batal. Dengan demikian bila terdapat penipuan (tadlis), paksaaan (ikhrah) atau tidak terjadi ketidaksesuaian objek akad karena kesemuanya ini dapat menimbulakn ketidakrelaan salah satu pihak maka akad dapat menjadi batal walaupun ijab Kabul telah dilaksanakan.

B.     Tujuan akad
Tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hokum perikatan disebut “prestasi”[3]. Menurut ulama fiqh, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah[4]. Sebagai contoh A menjual anggur pada B. A mengetahui bahwa tujuan B membeli anggur untuk dibuat minuman keras dan dijual. Maka jual beli tersebut tidak boleh dilakukan karena tujuan dari jual beli tersebut berentangan dengan syariah dan haram hukumnya, dan akad tersebut adalah batal. Akan tetapi, apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan dari B membeli anggur maka perikatan terrsebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan.
Syarat-syarat dari tujuan akad, yaitu:
1.      Tujuannya bukan merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2.      Tujuannya harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad, dan
3.      Tujuan akad harus dibenarkan syara’.[5]


[1] A. Shomad, 2010. Hukum Islam penormaan prinsip dalam Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta, Prenada Media, hal 177
[2] Gemala Dewi. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan PerasuriansianSyariah di Indonesia. Jakarta, Kencana, 2004, hal 14
[3] Gemala Dewi, OP.cit, hal. 17.
[4] Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlint, Op.cit , hal. 62.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Op.cit., hal. 25.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah hadis tentang tanggung jawab kepemimpinan

Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat: Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari A...