Kamis, 09 November 2017

makalah tafsir surah asy-syua'ra ayat 217 dan surah al-muluk ayat 29



SURAT ASY-SYUA’RA AYAT 217



Artinya: Dan bertawakkallah kepada (ALLAH) yang Maha Perkasa, Maha Penyayang.

v TAFSIR AL-AZHAR

             Di dalam tafsir Al-Azhar Prof. Dr. Hamka menafsirkan dua ayat yaitu Asy-Syua’ra ayat 217 dan 218. Yang menerangkan bahwa engkau dalam menghadapi tugas berat itu, member peringatan kepada umat manusia yang di mulai dari keluarga terdekat sendiri, kemudian merendahkan sayap kepada orang-orang yang telah mengatakan beriman, yang kadang-kadang masih di tentang dan di durhakai, sampai juga dari kalangan keluarga terdekat sendiri, sebagai yang dilakukan Abu Lahab, hendaklah dalam menghadapi itu semuanaya engkau senantiasa bertawakkal kepada Tuhan. Ingatlah bahwa tuhan itu Maha Perkasa. Bagaimanapun keras hati kaummu itu dalam menentang engkau, namun hendak Tuhan tidaklah akan dapat mereka tentang. Sekeras kerasnya mereka, tidaklah akan dapat mereka tentang. Sekeras kerasnya mereka, tidaklah akan dapat merubah ketentuan Tuhan. Tuhan itu Maha Perkasa, hanya kehendaknya jua yang berlaku. Dan Tuhan itu yang bersifat rahim, berarti penyayang, kasih saying. Karena kasih sayangnya engkau akan tetap di lindunginya. Dan orang-orang yang telah menyatakan imampun akan tetap diberinya perlindungan. Jerih payahmu menyampaikan da’wah itu tidaklah akan dibiarkan Tuhan hilang dengan percuma saja.[1]
             Ya pesan Tuhan itu engkau laksanakan, bahkan engkau selalu berdiri sembahyang. Engkau selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan sembahyang. Tuhan melihat engkau, memperhatikan engkau seketika engkau berdiri sembahyang itu.[2]
Telah dibuktikan oleh Tuhan hati engkau yang khusyu’ dan tawakkal engkau yang bulat kepada tuhan.

v TAFSIR AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA JILID: VII
             Di dalam tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya ini menerangkan ayat 217 – 220. Dimana tafsir ini menerangkan, Kemudian Allah memerintahkan jepada Nabi Muhammad saw: “Wahai Muhammad, jika engkau telah melaksanakan perintah-Ku dengan menyampaikan agama-Ku kepada mereka, tetapi mereka tidak memperkenankan seruan engkau itu, maka bertawakkallah kepada Ku, serahkan semuanya kepada-Ku, Akulah yang sanggup membelamu dari segala tipu daya musuhmu, yang sanggup menolongmu dari segala macam bencana yang akan menimpamu. Hanya Akulah yang melimpahkan rahmat kepada mu. Akulah yang mengetahui segala perbuatan dan gerak-gerik hamba-Ku. Aku melihatmu di waktu engkau melakukan sembahyang tahajud. Aku melihatmu pula diwaktu ruku’ dan sujud dalam sembahyangmu mengimami orang-orang yang sujud. Yang dimaksud dengan “sujud” dalam ayat ini ialah orang-orang bersembahyang, Allah SWT menyebut orang-orang yang sujud adalah untuk menunjukkan bahwa diwaktu sujud itulah seorang hamba paling dekat dengan Tuhannya.
             Allah SWT menerangkan kepada Nabi Muhammad saw bahwa Dia Maha Mendengar dan segala tutur dan percakapan beliau, dan Maha Mengetahui perbuatan baik, maupun yang belia nyatakan atau yang tidak beliau nyatakan, dan Dia mengetahui segala isi hati beliau. Dia Maha Kuasa memberi pembalasan kepada beliau dengan seadil – adilnya.[3]

v TAFSIR AL-MISHBAH
             Berbeda dari pada kedua tafsir di atas. Tafsir ini menerangkat surat Asy-Syu’ara, mulai dari ayat 216-217. Yang mana tafsir ini menerangkan. Keluarga dekat dari yang terdekat sekalipun tidak boleh mengakibatkan seorang yang beriman mengorbankan keimanannya demi karena keluarga. Memang, akan ada di antara mereka yang tidak setuju dengan ajakan mu, wahai Nabi Muhammad saw, tetapi hendaklah [4]engkau tegar menghadapi mereka dan berpegang teguh pada petunjuk Allah karena itu jika merekawalau semua mereka – apalagi kalau hanya sebagian atau selain mereka mendurhakaimu, yakni enggan memercayai dan mengikuti tuntunan Allah yang engkau sampaikan, maka ubahlah sifatmu terhadap mereka yang selama ini belum tegas dan katakanlah: “Sesungguhnya aku berlepas diri dan tidak akan merestui apalagi mengikuti dan bertanggung jawab menyangkut yang apa, yakni kedurhakaan, yang terus-menerus kamu kerjakan. “Dan bertawakkallah, yakni berserah dirilah setelah upaya maksimal, kepada Allah. Yang Mahaperkasa Maha Kuasa mengalahkan siapapun yang bermaksud buruk terhadapmu lagi Maha Penyayang kepadamu dan semua pengikutmu.
             Sementara ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jika mereka mendurhakaimu adalah mereka yang mengikuti dan beriman itu. Yakni, bila mereka itu melanggar ketentuan hukum syariat, yakni perincian agama, bukan prinsip keimanan, katakanlah kepada mereka bahwa engkau berrlepas diri dari mereka. Pendapat ini tidak sejalan dengan kata al-mu’minin yang mengandung makna kemantapan dan kesempurnaan iman. Karena kesempurnannya menutup kemungkinan adanya pelanggaran walau menyangkut perincian agama. Apalagi yang ini turu di mekkah, sebelum adanya perintah perang, bahkan sementara berpendapat bahwa ia turun pada periode pertama kenabian. Ketika itu belum ada lagi orang munafik karena kemunafikan muncul di saat Islam berkembang.
             Thabathada’I memeroleh kesan dari penutup ayat 21 menyebut dua sifat Allah, yakni al-Aziz dan ar-Rahim, yang juga merupakan penutup kisah nabi-nabi yang umurnya dibinasakan Allah, bahwa itu sebagai isyarat bahwa umat Nabi Muhammad saw. Yang beriman dan mengikuti beliau atau yang durhaka dan membangkang tuntunan beliau akan memeroleh kesudahan, sebagai mana kesudahan umat Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Syu’aib, dan kaum Fir’aun, di mana Allah melimpahkan rahmat bagi yang taat di antara mereka dan menyiksa yang durhaka.
             Selanjutnya, lihatlah antara lain Q.S al-Furqan [25]: 58 untuk memeroleh informasi tentang makna bertawakkal.[5]





SURAT AL-MULK AYAT 29


Artinya: Katakanlah, “Dialah yang Maha Pengsih, kami beriman kepada-Nya dan kepa-Nya kami bertawakkal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.”

v TAFSIR AL-MISHBIAH
             Kaum musyrikin yang berkali-kali ditegur kepercayaannya itu berdasarkan anekaargumentasi logika yang sangat meyakinkan tidak mampu membela dengan argumentasi serupa dan dengan demikian tidak memiliki cara pembelaan kecuali dengan upaya mencelakakan  Nabi saw, atau paling tidak mengharap beliau agar mati. Ayat di atas mengecam mereka dengan memerintahkan Rasul saw, bahwa: katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada mereka yang mengharapkan kematianmu. “Terangkanlah kepadaKu dengan keterangan yang jelas bagaikan terlihat oleh pandangan mata jika Allah mematikan aku dengan cara apapun dan mematikan juga orang-orang yang bersama denganKu yakni bersama dalam keyakinan sebagaimana yang kamu harapkan atau merahmati kami dengan memanjangkan usia kami dalam ketaatan kepada-Nya serta menganugerahkan kemenangan bagi kami dengan memenangkan ajara-Nya maka apakah salah satu dari dua kemungkinan itu bermanfaat buat kamu sehingga membebaskan kamu dari siksa Allah? Jelas tidak!. Jika demikian, tiada menfaatnya bagi kamu menanti dan mengharapkan kematian kami. Bahkan, kamu akan di siksa karena kamu mengingkari keesaan Allah dan durhaka kepada-Nya, maka jika demikian siapakah yang dapat melindungi kamu dan orang-orang yang kafir selain kamu dari siksa yang pedih.[6]
             Meraka yang ditanya itu bungkam karena tidak ada jawaban lain kecuali mengharapkan rahmat Allah, dank arena itu Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw menjawab sendiri perrtanyaan tersebut bahwa: katakanlah: “yang dapat melindungi kami dan kamu Dia saja tidak selain-Nya, yaitu ar-Rahman Tuhan pelimpah kasih. Kami, yakni nabi Muhammad bersama dengan pengikut-pengikut beliau, beriman kepada-Nya dan hanya kepada-Nya saja tidak selain-Nya kami bertawakkal, yakni berserah diri setelah berupaya semaksimal mungkin. Kami hanya mengharapkan-Nya dan tidak takut kepada selain-Nya. Kelak kamu akan mengetahui ketika menyaksikan datangnya siapakah dia- kelompokku atau kelompok kalian- yang berada dalam kesesatan yang nyata.
             Kata ahlakuni terambil dari kata halak yang antara lain berarti mati. Ayat diatas memerintahkan Nabi saw menunjuk dirinya terlebih dahulu baru menunjuk siapa yang bersama beliau (jika Allah mematikan akun dan orang-orang yang bersama ku). Tetapi, ketika berbicara tentang rahmat, Allah tidak memisahkan rahmat itu apalagi mendahulukan beliau, tetapi menyatakan: atau merahmati kami. Ini member pelajaran bahwa sesorang pemimpin harus tampil terlebih dahulu menanggung beban baru mengikut hal tersebut pengikut-pengikutnya, sedang bila sukses telah tercapai, sang pemimpin harus menikamati bersama sukses itu, tidak hanya dia sendiri yang merasakan manisnya sukses atau mngambil sebanyak mungkin.
             Salah satu rahmat Allah yang terbesar adalah usia yang panjang dalam ketaatan kepada-Nya, sebagaimana di isyaratkan oleh dimaksud kalimat merahmati kami. Sebaliknya, salah satu bencana paling besar adalah usia yang panjang di sertai dengan kedurhakaan kepada-Nya.
             Ayat 29 menegaskan keimanan Nabi dan kaum muslimin kepada Allah yang bersifat  ar-Rahman. ini menyiratkan bahwa kaum muslimin selalu mengharapkan perolehan rahmat-Nya bukan hanya buat diri mereka sendiri, tetapi untuk semua makhluk Allah. Bukankah ar-Rahman adalah pemimpin kasih untuk seluruh makhlauk di persada bumi ini- baik manusia- mukmin atau kafir maupun makhluk-makhluk lainnya.[7]

v TAFSIR AL-AZHAR
             Sedangkan tafsir ini menjelaskan. “Katakanlah: “Dia adalah ar-Rhman (maha pengasih). Kami percaya kepada Nya.” (pangkal ayat 29). Ayat ini menjelaskan lagi tafsir yang terkandung pada ayat sebelumnya. Di ayat 28 dijelaskan bahwa Nabi saw bersedia menerima apa saja yang ditentukan oleh Tuhan, atau dia binasa bersam orang yang percaya kepada syariat yang dibawahnya, atau dia diberi rahmat. Maha Pengasih. Maha Cinta akan hamba-Nya.[8] Dia tidak akan berlaku aniaya. Dia telah berjanji akan menolong barang siapa yang berjuang menegakkan perintahnya. Sebab itu maka Nabi dan orang yang beriman serta bersedia dengan sabar dan ridha menerima ketentuan Tuhan. “Dan kepada-Nya kami bertawakkal.” Bulat-bulat kami menyerahkan diri dan urusan kami kepada Allah yang maha pengasih itu. Sedikitpun tidak ada keraguan di hati kami. “Maka kelak akan tahulah kamu siapakah dia yang dalam kesesatan yang nyata.” (ujung ayat 29). Tentu yang dalam kesesatan yang nyata atau yang salah perhitungan itu ialah orang-orang yang mengharapkan Rasul dan orang yang beriman lekas mati atau binasa. Karena dasar iman itu tidaklah akan hilang dengan kematian mereka. Yang terang sengsara hidupnya dan buntu perjalanannya ialah orng-orang yang kafir itu.

v TAFSIR AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA JILID X
             Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang kafir mekkah, “Hai orang-orang kafir aku dan pengikut-pengikutku telah beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhan Yang Maha Pemurah dan maha Penyayang kepada hamba-hambanya, Tuhan yang menerapkan hukum dengan adil. Hanya kepada-Nya sajalah kami serahkan diri dan segala urusan kami, karena Dialah yang mnentukan keadaan diri kami dan hanya kepada-Nya sajalah kami memohon pertolongan dan member kami rezeki untuk kelangsungan hidup dan kehidupan kami. Hanya dDialah yang dapat membebaskan kami dari semua bencan adan malapetaka yang mungkin menimpa kami.
             Ayat ini seolah-olah  mencela sikap dan tindakan orang-orang kafir yang menyembah patung-patung yang mereka buat sendiri yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat bahkan harus mereka sendiri yang memelihara dan merawatnya.
             Karena kekafiran itu, mereka tidak akan memperoleh kesenangan hidup diakhrat nanti. Kelak mereka akan mengetahui, siapa di antara mereka dan orang-orang mukmin yang menempuh jalan yang benar dan siapa yang menempuh jalan yang sesat. Yang menempuh jalan yang benar sampai tempat yang baik penuh kenikmatan dan yang menempuh jalan yang sesat tentu akan sampai ditempat yang sesat pula, penuh kesengsaraan dan penderitaan.[9]


[1] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 17, 18, 19, 20 Hal 163
[2] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 17, 18, 19, 20 Hal 164
[3] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol 9, Hal 359
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol 9, Hal 360
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol 14, Hal 228
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol 14, Hal 229
[8] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 28,29,30, hal 34
[9] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid X

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah hadis tentang tanggung jawab kepemimpinan

Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat: Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari A...