SURAT
ASY-SYUA’RA AYAT 217
Artinya: Dan bertawakkallah
kepada (ALLAH) yang Maha Perkasa, Maha Penyayang.
v TAFSIR
AL-AZHAR
Di dalam tafsir Al-Azhar Prof. Dr.
Hamka menafsirkan dua ayat yaitu Asy-Syua’ra ayat 217 dan 218. Yang menerangkan
bahwa engkau dalam menghadapi tugas berat itu, member peringatan kepada umat
manusia yang di mulai dari keluarga terdekat sendiri, kemudian merendahkan
sayap kepada orang-orang yang telah mengatakan beriman, yang kadang-kadang
masih di tentang dan di durhakai, sampai juga dari kalangan keluarga terdekat
sendiri, sebagai yang dilakukan Abu Lahab, hendaklah dalam menghadapi itu
semuanaya engkau senantiasa bertawakkal kepada Tuhan. Ingatlah bahwa tuhan itu
Maha Perkasa. Bagaimanapun keras hati kaummu itu dalam menentang engkau, namun
hendak Tuhan tidaklah akan dapat mereka tentang. Sekeras kerasnya mereka,
tidaklah akan dapat mereka tentang. Sekeras kerasnya mereka, tidaklah akan
dapat merubah ketentuan Tuhan. Tuhan itu Maha Perkasa, hanya kehendaknya jua
yang berlaku. Dan Tuhan itu yang bersifat rahim, berarti penyayang, kasih
saying. Karena kasih sayangnya engkau akan tetap di lindunginya. Dan
orang-orang yang telah menyatakan imampun akan tetap diberinya perlindungan.
Jerih payahmu menyampaikan da’wah itu tidaklah akan dibiarkan Tuhan hilang
dengan percuma saja.[1]
Ya pesan Tuhan itu engkau
laksanakan, bahkan engkau selalu berdiri sembahyang. Engkau selalu mendekatkan
diri kepada Allah dengan mengerjakan sembahyang. Tuhan melihat engkau,
memperhatikan engkau seketika engkau berdiri sembahyang itu.[2]
Telah dibuktikan oleh Tuhan hati
engkau yang khusyu’ dan tawakkal engkau yang bulat kepada tuhan.
v TAFSIR
AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA JILID: VII
Di dalam tafsir Al-Qur’an dan Tafsirnya
ini menerangkan ayat 217 – 220. Dimana tafsir ini menerangkan, Kemudian Allah memerintahkan
jepada Nabi Muhammad saw: “Wahai Muhammad, jika engkau telah melaksanakan
perintah-Ku dengan menyampaikan agama-Ku kepada mereka, tetapi mereka tidak
memperkenankan seruan engkau itu, maka bertawakkallah kepada Ku, serahkan
semuanya kepada-Ku, Akulah yang sanggup membelamu dari segala tipu daya
musuhmu, yang sanggup menolongmu dari segala macam bencana yang akan menimpamu.
Hanya Akulah yang melimpahkan rahmat kepada mu. Akulah yang mengetahui segala
perbuatan dan gerak-gerik hamba-Ku. Aku melihatmu di waktu engkau melakukan
sembahyang tahajud. Aku melihatmu pula diwaktu ruku’ dan sujud dalam
sembahyangmu mengimami orang-orang yang sujud. Yang dimaksud dengan “sujud”
dalam ayat ini ialah orang-orang bersembahyang, Allah SWT menyebut orang-orang
yang sujud adalah untuk menunjukkan bahwa diwaktu sujud itulah seorang hamba
paling dekat dengan Tuhannya.
Allah SWT menerangkan kepada Nabi
Muhammad saw bahwa Dia Maha Mendengar dan segala tutur dan percakapan beliau,
dan Maha Mengetahui perbuatan baik, maupun yang belia nyatakan atau yang tidak
beliau nyatakan, dan Dia mengetahui segala isi hati beliau. Dia Maha Kuasa
memberi pembalasan kepada beliau dengan seadil – adilnya.[3]
v TAFSIR
AL-MISHBAH
Berbeda dari pada kedua tafsir di
atas. Tafsir ini menerangkat surat Asy-Syu’ara, mulai dari ayat 216-217. Yang
mana tafsir ini menerangkan. Keluarga dekat dari yang terdekat sekalipun tidak
boleh mengakibatkan seorang yang beriman mengorbankan keimanannya demi karena
keluarga. Memang, akan ada di antara mereka yang tidak setuju dengan ajakan mu,
wahai Nabi Muhammad saw, tetapi hendaklah [4]engkau
tegar menghadapi mereka dan berpegang teguh pada petunjuk Allah karena itu jika mereka—walau
semua mereka – apalagi kalau hanya sebagian atau selain mereka mendurhakaimu,
yakni enggan memercayai dan mengikuti tuntunan Allah yang engkau sampaikan,
maka ubahlah sifatmu terhadap mereka yang selama ini belum tegas dan
katakanlah: “Sesungguhnya aku berlepas diri dan tidak akan merestui apalagi
mengikuti dan bertanggung jawab menyangkut yang apa, yakni kedurhakaan, yang
terus-menerus kamu kerjakan. “Dan bertawakkallah, yakni berserah dirilah
setelah upaya maksimal, kepada Allah. Yang Mahaperkasa Maha Kuasa mengalahkan
siapapun yang bermaksud buruk terhadapmu lagi Maha Penyayang kepadamu dan semua
pengikutmu.
Sementara ulama berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan jika mereka mendurhakaimu adalah mereka yang mengikuti dan
beriman itu. Yakni, bila mereka itu melanggar ketentuan hukum syariat, yakni
perincian agama, bukan prinsip keimanan, katakanlah kepada mereka bahwa engkau
berrlepas diri dari mereka. Pendapat ini tidak sejalan dengan kata al-mu’minin
yang mengandung makna kemantapan dan kesempurnaan iman. Karena kesempurnannya
menutup kemungkinan adanya pelanggaran walau menyangkut perincian agama.
Apalagi yang ini turu di mekkah, sebelum adanya perintah perang, bahkan
sementara berpendapat bahwa ia turun pada periode pertama kenabian. Ketika itu
belum ada lagi orang munafik karena kemunafikan muncul di saat Islam
berkembang.
Thabathada’I memeroleh kesan dari
penutup ayat 21 menyebut dua sifat Allah, yakni al-Aziz dan ar-Rahim, yang juga
merupakan penutup kisah nabi-nabi yang umurnya dibinasakan Allah, bahwa itu
sebagai isyarat bahwa umat Nabi Muhammad saw. Yang beriman dan mengikuti beliau
atau yang durhaka dan membangkang tuntunan beliau akan memeroleh kesudahan,
sebagai mana kesudahan umat Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Syu’aib, dan
kaum Fir’aun, di mana Allah melimpahkan rahmat bagi yang taat di antara mereka
dan menyiksa yang durhaka.
Selanjutnya, lihatlah antara lain
Q.S al-Furqan [25]: 58 untuk memeroleh informasi tentang makna bertawakkal.[5]
SURAT AL-MULK AYAT 29
Artinya: Katakanlah, “Dialah yang
Maha Pengsih, kami beriman kepada-Nya dan kepa-Nya kami bertawakkal. Maka kelak
kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.”
v TAFSIR
AL-MISHBIAH
Kaum musyrikin yang berkali-kali
ditegur kepercayaannya itu berdasarkan anekaargumentasi logika yang sangat
meyakinkan tidak mampu membela dengan argumentasi serupa dan dengan demikian
tidak memiliki cara pembelaan kecuali dengan upaya mencelakakan Nabi saw, atau paling tidak mengharap beliau
agar mati. Ayat di atas mengecam mereka dengan memerintahkan Rasul saw, bahwa:
katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada mereka yang mengharapkan kematianmu.
“Terangkanlah kepadaKu dengan keterangan yang jelas bagaikan terlihat oleh
pandangan mata jika Allah mematikan aku dengan cara apapun dan mematikan juga
orang-orang yang bersama denganKu yakni bersama dalam keyakinan sebagaimana
yang kamu harapkan atau merahmati kami dengan memanjangkan usia kami dalam
ketaatan kepada-Nya serta menganugerahkan kemenangan bagi kami dengan
memenangkan ajara-Nya maka apakah salah satu dari dua kemungkinan itu
bermanfaat buat kamu sehingga membebaskan kamu dari siksa Allah? Jelas tidak!.
Jika demikian, tiada menfaatnya bagi kamu menanti dan mengharapkan kematian
kami. Bahkan, kamu akan di siksa karena kamu mengingkari keesaan Allah dan
durhaka kepada-Nya, maka jika demikian siapakah yang dapat melindungi kamu dan
orang-orang yang kafir selain kamu dari siksa yang pedih.[6]
Meraka yang ditanya itu bungkam
karena tidak ada jawaban lain kecuali mengharapkan rahmat Allah, dank arena itu
Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw menjawab sendiri perrtanyaan tersebut
bahwa: katakanlah: “yang dapat melindungi kami dan kamu Dia saja tidak
selain-Nya, yaitu ar-Rahman Tuhan pelimpah kasih. Kami, yakni nabi Muhammad
bersama dengan pengikut-pengikut beliau, beriman kepada-Nya dan hanya
kepada-Nya saja tidak selain-Nya kami bertawakkal, yakni berserah diri setelah
berupaya semaksimal mungkin. Kami hanya mengharapkan-Nya dan tidak takut kepada
selain-Nya. Kelak kamu akan mengetahui ketika menyaksikan datangnya siapakah dia-
kelompokku atau kelompok kalian- yang berada dalam kesesatan yang nyata.
Kata ahlakuni terambil dari kata
halak yang antara lain berarti mati. Ayat diatas memerintahkan Nabi saw
menunjuk dirinya terlebih dahulu baru menunjuk siapa yang bersama beliau (jika
Allah mematikan akun dan orang-orang yang bersama ku). Tetapi, ketika berbicara
tentang rahmat, Allah tidak memisahkan rahmat itu apalagi mendahulukan beliau,
tetapi menyatakan: atau merahmati kami. Ini member pelajaran bahwa sesorang pemimpin
harus tampil terlebih dahulu menanggung beban baru mengikut hal tersebut
pengikut-pengikutnya, sedang bila sukses telah tercapai, sang pemimpin harus
menikamati bersama sukses itu, tidak hanya dia sendiri yang merasakan manisnya
sukses atau mngambil sebanyak mungkin.
Salah satu rahmat Allah yang
terbesar adalah usia yang panjang dalam ketaatan kepada-Nya, sebagaimana di
isyaratkan oleh dimaksud kalimat merahmati kami. Sebaliknya, salah satu bencana
paling besar adalah usia yang panjang di sertai dengan kedurhakaan kepada-Nya.
Ayat 29 menegaskan keimanan Nabi
dan kaum muslimin kepada Allah yang bersifat
ar-Rahman. ini menyiratkan bahwa kaum muslimin selalu mengharapkan
perolehan rahmat-Nya bukan hanya buat diri mereka sendiri, tetapi untuk semua
makhluk Allah. Bukankah ar-Rahman adalah pemimpin kasih untuk seluruh makhlauk
di persada bumi ini- baik manusia- mukmin atau kafir maupun makhluk-makhluk
lainnya.[7]
v TAFSIR
AL-AZHAR
Sedangkan tafsir ini menjelaskan.
“Katakanlah: “Dia adalah ar-Rhman (maha pengasih). Kami percaya kepada Nya.”
(pangkal ayat 29). Ayat ini menjelaskan lagi tafsir yang terkandung pada ayat
sebelumnya. Di ayat 28 dijelaskan bahwa Nabi saw bersedia menerima apa saja
yang ditentukan oleh Tuhan, atau dia binasa bersam orang yang percaya kepada
syariat yang dibawahnya, atau dia diberi rahmat. Maha Pengasih. Maha Cinta akan
hamba-Nya.[8]
Dia tidak akan berlaku aniaya. Dia telah berjanji akan menolong barang siapa
yang berjuang menegakkan perintahnya. Sebab itu maka Nabi dan orang yang
beriman serta bersedia dengan sabar dan ridha menerima ketentuan Tuhan. “Dan
kepada-Nya kami bertawakkal.” Bulat-bulat kami menyerahkan diri dan urusan kami
kepada Allah yang maha pengasih itu. Sedikitpun tidak ada keraguan di hati
kami. “Maka kelak akan tahulah kamu siapakah dia yang dalam kesesatan yang
nyata.” (ujung ayat 29). Tentu yang dalam kesesatan yang nyata atau yang salah
perhitungan itu ialah orang-orang yang mengharapkan Rasul dan orang yang
beriman lekas mati atau binasa. Karena dasar iman itu tidaklah akan hilang
dengan kematian mereka. Yang terang sengsara hidupnya dan buntu perjalanannya
ialah orng-orang yang kafir itu.
v TAFSIR
AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA JILID X
Allah memerintahkan kepada Nabi
Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang kafir mekkah, “Hai orang-orang
kafir aku dan pengikut-pengikutku telah beriman kepada Tuhan semesta alam,
Tuhan Yang Maha Pemurah dan maha Penyayang kepada hamba-hambanya, Tuhan yang
menerapkan hukum dengan adil. Hanya kepada-Nya sajalah kami serahkan diri dan
segala urusan kami, karena Dialah yang mnentukan keadaan diri kami dan hanya
kepada-Nya sajalah kami memohon pertolongan dan member kami rezeki untuk
kelangsungan hidup dan kehidupan kami. Hanya dDialah yang dapat membebaskan
kami dari semua bencan adan malapetaka yang mungkin menimpa kami.
Ayat ini seolah-olah mencela sikap dan tindakan orang-orang kafir
yang menyembah patung-patung yang mereka buat sendiri yang tidak dapat memberi
manfaat dan mudarat bahkan harus mereka sendiri yang memelihara dan merawatnya.
Karena kekafiran itu, mereka tidak
akan memperoleh kesenangan hidup diakhrat nanti. Kelak mereka akan mengetahui, siapa
di antara mereka dan orang-orang mukmin yang menempuh jalan yang benar dan
siapa yang menempuh jalan yang sesat. Yang menempuh jalan yang benar sampai
tempat yang baik penuh kenikmatan dan yang menempuh jalan yang sesat tentu akan
sampai ditempat yang sesat pula, penuh kesengsaraan dan penderitaan.[9]
[1] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 17,
18, 19, 20 Hal 163
[2] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 17,
18, 19, 20 Hal 164
[3] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,
Jilid VII
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol
9, Hal 359
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol
9, Hal 360
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol
14, Hal 228
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol
14, Hal 229
[8] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar juz
28,29,30, hal 34
[9] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan
Tafsirnya Jilid X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar