KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
makalah yang kami buat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun sebagai tugas untuk mata kuliah HUKUM DAN HAM.
Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini,
sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya
.
Medan, 25 Oktober 2017
PENULIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hak asasi
manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak
manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki
setiap orang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia
berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. Hak
asasi manusia teriri atas dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan
dan hak kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini maka akan sulit untuk menegakkan
hak asasi lainnya.
Pengakuan
terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap
segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian,
kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak untuk
mengikuti kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun
terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut. Tuhan memberikan sejumlah hak
dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya.
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundmental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati,
dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara.
Dengan
demikian, hakikat pengormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan.
Keseimbangan adalah antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati,
melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab
bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun
militer), dan negara.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Mekanisme Perlindungan dan penegakan
ham di indonesia?
2.
Apa – apa saja lembaga perlindungan ham di
indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Perlindungan Dan
Penegakan Ham di Indonesia
1. Perlindungan ham
Setelah 15
tahun dari Reformasi 1998, jaminan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dalam
tataran normatif semakin maju. Amandemen Kedua UUD 1945, telah memperkuat
perlindungan HAM di Indonesia yang memastikan bahwa sejumlah hak-hak asasi yang
diatur merupakan hak konstitusional.[1] Sebelumnya, Indonesia telah menyusun kebijakan HAM yang dituangkan
dalam Ketetapan MPR No. XVII tahun 1998 tentang Hak asasi Manusia. Pada tahun
1999, terbentuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang juga
menjamin berbagai hak-hak asasi warga negara. Setelah reformasi, berbagai UU
terbentuk dan semakin memperkuat jaminan perlindungan HAM di Indonesia,
termasuk melakukan ratifikasi/aksesi sejumlah instrumen HAM internasional,
diantaranya “the International Covenant on Civil and Political Rights” (ICCPR)
dan “the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights”
(ICESCR).
UUD 1945
menjamin perlindungan HAM, misalnya pengakuan dan jaminan hak atas persamaan
hukum, jaminan hak untuk bebas dari tindakan diskriminasi dalam berbagai
bentuknya, hak untuk bebas dari penyiksaan, dan lain sebagainya. UU No. 39
tahun 1999, selain mengatur tentang berbagai hak yang dijamin, juga menjelaskan
tentang tanggung jawab pemerintah dalam penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan HAM, serta mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM). Sejak tahun 1998 hingga kini, dalam kebijakan yang lebih operasional,
Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Adanya RANHAM ini juga sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam
bidang HAM.
Jaminan
perlindungan HAM dalam berbagai peraturan tersebut, memberikan kewajiban kepada
negara dan utamanya pemerintah terhadap hak- hak yang dijamin. Terlebih,
setelah Indonesia meratifikasi 2 (dua) instrumen internasional pokok HAM (ICCPR
dan ICESCR), menambah komitmen Indonesia dalam perlindungan HAM. Sebagai negara
pihak dari Kovenan, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan segala upaya
(hukum, legislatif, dan administratif, dan lainnya) untuk melindungi hak-hak
yang dijamin dalam Kovenan.[2]
Komitmen negara
dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM tersebut yang kemudian dilakukan
dengan terus menerus mengupayakan adanya pembentukan, perubahan, dan pencabutan
regulasi-regulasi yang dimaksudkan untuk memperkuat perlindungan HAM.
Dalam bidang peradilan misalnya, adanya reformasi regulasi untuk
mewujudkan adanya kemandirian peradilan (independence
of the judiciary), dengan melakukan pemisahan kekuasaan eksekutif dan
yudikatif, memberikan kewenangan kepada badan-badan peradilan untuk
melaksanakan peradilan secara adil (fair)
dan tidak memihak (impartial),[3] membentuk badan-badan khusus untuk melaksanakan pengawasan, dan
menciptakan berbagai program pelatihan untuk membentuk aparat penegak hukum
yang dan semakin profesional. Upaya-upaya perubahan untuk menjamin kesetaraan
dan non diskriminasi juga terus diupayakan, misalnya penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan dan diskriminasi rasial. Tahun 1999 Indonesia meratifikasi
“the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination” (CERD), yang kemudian tahun 2008 membentuk UU No. 40 Tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam bidang politik, reformasi regulasi terkait dengan pemilu dan
pertisipasi publik dalam politik juga terus diperbaiki, bertujuan untuk
memastikan berjalannya demokrasi. Pelembagaan prosedur-prosedur demokrasi telah
berlangsung, misalnya pergantian pejabat publik melalui pemilihan umum yang
bebas. Di parlemen, memungkinkan adanya lebih dari satu partai politik, DPD
sebagai perwakilan daerah di tingkat nasional, pemilihan langsung presiden di
tingkat nasional dan kepala pemerintahan di tingkat lokal (pilkada).
Pelembagaan lain dari demokrasi adalah adalah Mahkamah Konstitusi yang
memungkinkan menguji kesesuaian UU dengan konstitusi yang merupakan hukum dasar
Negara RI.
Dalam bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara dan
pemerintah terus mengupayakan perbaikan pemenuhannya, misalnya dengan program
akses pendidikan (anggaran 20% APBN), kesehatan (program kesehatan masyarakat,
kartu sehat, dll), program perumahan untuk penduduk berpenghasilan rendah, dan
sejumlah program kesejahteraan lainnya. Dalam konteks pemenuhan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, terdapat berbagai rencana jangka pendek maupun
panjang untuk memperbaiki kondisi pemenuhan hak-hak tersebut.
Melihat perkembangan tersebut, upaya-upaya penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia merupakan kerja jangka panjang yang
tidak boleh berhenti. Hal ini untuk memastikan pelaksanaan kewajiban negara
dalam bidang HAM, dan juga memastikan penikmatan (enjoyment) HAM oleh warga negara.
Salah satu
ciri dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan
HAM oleh negara kepada warga negara. Makna jaminan perlindungan di sini adalah
bahwa negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk mempromosikan (to
promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarentee), memenuhi (to
fulfill), memastikan (to ensure) HAM.
a)
Mempromosikan
artinya bahwa negara melalui alat-alat perlengkapannya baik di tingkat pusat
maupun daerah memiliki kewajiban untuk senantiasa mensosialisasikan pentingnya
perlindungan HAM serta berbagai peraturan PerUUan di bidang HAM sehingga
tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HAM semakin meningkat.
b)
Melindungi
artinya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi HAM setiap warga negara
tanpa didasarkan atas diskriminasi agama, ras, suku, etnik, dsb. Negara tidak
hanya memiliki kewajiban untuk proaktif memberikan perlindungan HAM setiap
warga negaranya, namun juga negara tidak dobenarkan melakukan pembiaraan (act by
ommission) terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dimasyarakat.
c)
menjamin
perlindungan HAM artinya bahwa perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan
dalam tujuan negara (staat ide) atau tidak cukup hanya dituangkan dalam
berbagai pasal dalam konstitusi, namun yang lebih penting adalah bagaimana
negara menjamin pengakuan dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam
peraturan setingkat UU atau bahkan setingkat peraturan pelaksana seperti PP,
Perda, Kepres, dan kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun daerah.
d)
memenuhi
artinya terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dan menimbulkan korban,
negara memiliki kewajiban untuk segera memenuhi hak-hak korban dengan segera
dan proporsional dengan tanpa disyaratkan dalam kondisi tertentu.
e)
memastikan
artinya bahwa negara dapat memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM akan
dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan perUUan
2. Penegakan Ham
Penegakan HAM itu penting di lakukan di
Indonesia Agar negara Indonesia tidak termasuk negara “unwillingness state”
yaitu Negara yang tidak mempunyai kemauan menegakkan HAM. Agar tercipta
keamanan, ketentraman, kedamaian kebahagiaan dan Kesejahteraan dalam kehidupan
bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
Setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat
senantiasa menjunjung tinggi penghargaan tehadap hak-hak dan
kebebasan-kebebasan melalui tindakan progresif baik secara nasional maupun
internasional. Namun manakala manusia telah memproklamasikan diri menjadi
suatu kaum atau bangsa dalam suatu Negara, status manusia individual
akan menjadi status warga Negara. Pemberian hak sebagai warga Negara
diatur dalam mekanisme kenegaraan. Berikut ini langkah-langkah dalam upaya
penegakan HAM di Indonesia adalah:
a.
Mengadakan langkah kongkret dan sistematik
dalam pengaturan hukum positif
b.
Membuat peraturan perundang-undangan tetntang
HAM
c.
Peningkatan penghayatan dan pembudayaan HAM
pada segenap elemen masyarakat
d.
Mengatur mekanisme perlindungan HAM secara
terpadu
e.
Memacu keberanian warga untuk melaporkan bila
ada pelanggaran HAM
f.
Meningkatkan hubungan dengan lembaga yang
menangani HAM
g.
Meningkatkan peran aktif media massa
Dalam penegakan
HAM di Indonesia perangkat ideologi pancasila dan UUD 1945 harus dijadikan
acuan pokok, karena secara terpadu nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya merupakan
The Indonesia Bill Of Human Right
Ada sejumlah
kemajuan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka
penegakan HAM, khususnya terkait dengan upaya perbaikan pada kerangka hukum dan
institusi untuk mempromosikan HAM. Telah nampak dalam kerangka hukum,
pemerintah Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan menyangkut HAM yang
cukup positif. Pembuatan Undang-Undang (UU) HAM serta UU Perlindungan Saksi
Mata, adalah beberapa kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen positif
pada persoalan perlindungan HAM di Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi
penegakan HAM di Indonesia, seperti pengadilan HAM ad-hoc, Komisi Nasional HAM,
Komnas Perempuan serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha
yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan HAM.
1) Upaya pemerintah dalam
menegakkan ham
Dewasa ini
banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan
HAM. Sangat perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius
dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah sebagai
berikut;
a)
Indonesia menyambut baik kerja sama
internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara
dan Indonesia sangat merespons terhadap pelanggaran HAM internasional. Hal ini
dapat dibuktikan dengan kecaman Presiden atas beberapa agresi militer di
beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini
Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada Israel yang telah
menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita dan anak-anak.
b)
Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan
Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang
berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan telah dibentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia dengan kepres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti
Kekerasan terhadap perempuan
c)
Pengeluaran Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia , Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain yang belum tersebutkan
menyangkut penegakan hak asasi manusia.
d)
Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM
dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 melalui Kepres Nomor 50 tahun 1993.
Keberadaan Komnas HAM selanjutnya di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 75 sampai dengan pasal 99. Komnas HAM
merupakan lembaga negara mandiri setingkat lembaga negara lainnya yang
berfungsi sebagai lembaga pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi HAM. Komnas HAM beranggotakan 35 orang yang dipilih oleh DPR
berdasarkan usulan Komnas HAM selama lima tahun dan dapat di angkat lagi hanya
untuk satu kali masa jabatan.
Pembentukan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia .Komnas HAM
dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 melalui Kepres Nomor 50 tahun 1993.
Keberadaan Komnas HAM selanjutnya di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 75 sampai dengan pasal 99. Komnas HAM
merupakan lembaga negara mandiri setingkat lembaga negara lainnya yang
berfungsi sebagai lembaga pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi HAM. Komnas HAM beranggotakan 35 orang yang dipilih oleh DPR berdasarkan
usulan Komnas HAM selama lima tahun dan dapat di angkat lagi hanya untuk satu
kali masa jabatan.
e)
Melalui upaya pengadilan HAM. Pengadilan HAM
di bentuk berdasrkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000.
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang di
harapkan dapat melindungi HAM baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi
dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman, baik
perseorangan maupun masyarakat. Pengadilan HAM
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang
berat. Di samping itu, berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
yang di lakukan oleh Warga Negara Indonesia dan terjadi di luar batas
teritorial wilayah Indonesia.
Menjadi titik berat adalah hal-hal yang
tercantum dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia adalah sebagai
berikut;
a)
Hak untuk hidup.
b)
Hak berkeluarga.
c)
Hak memperoleh keadilan.
d)
Hak atas kebebasan pribadi.
e)
Hak kebebasan pribadi
f)
Hak atas rasa aman.
g)
Hak atas kesejahteraan.
h)
Hak turut serta dalam pemerintahan.
i)
Hak wanita.
j)
Hak anak.
Ha-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa
Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM.
B.
Lembaga Perlindungan Atau Penegakan Ham Di Indonesia
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak
asasi manusia, di samping dibentuk aturan-aturan hukum juga dibentuk
kelembagaan yang menangani masalah penegakan hak asasi manusia. Berikut ini
adalah lembaga-lembaga penegakan HAM di Indonesia:
1. Mahkamah Konstitusi
Perkembangan pengaturan
hak asasi manusia
di Indonesia telah dipengaruhi oleh perubahan
politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998,
misalnya, menghasilkan Ketetapan No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan
penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945
(tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen
konstitusi dengan Undang Undang Nomor 39
Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/ MPR/1998. [4]
Menurut Pasal
28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban untuk melindungi,
memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang dalam
instrumen interasional dirumuskan sebagai
kewajiban to protect, to promote, to
implement or enforce and to fulfill human rights). Bagaimana
hak asasi manusia ditegakkan di hadapan ancaman-ancaman
kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang bersalah guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula
untuk memeriksa mekanisme penyampaian keluhan public
(public complaints procedure),
peradilan administrasi/tata-usaha negara, peradilan di
bawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), maupun pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada dasarnya,
secara strict wewenang Mahkamah
Konstitusi menguji undang-undang terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas sehingga
dikenal sebagai constitutional review.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, dan berbagai
negara, uji konstitusionalitas itu disandarkan kepada suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang
diuji telah merugikan hak dan/atau
wewenang konstitusional pemohon constitutional review. Rumusan ini
perlu sedikit dijelaskan. Pertama,
dirumuskan sebagai “hak dan atau wewenang”. Wewenang
konstitusional lebih terkait dengan kewenangan lembaga negara yang berhak pula
untuk memohon constitutional review terhadap
undangundang dalam hal suatu undang-undang dinilai bertentangan dengan
konstitusi (dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga Negara pemohon
pengujian). Kedua, hak konstitusional
lebih dekat dengan jaminan perlindungan
hak asasi manusia bagi warga negara. Sudut pandang kedua ini akan dibahas
lebih lanjut.
2.
Komisi Nasional
a.
Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia
Komnas HAM dibentuk melalui Keppres No. 50
Tahun 1993. Ia dibentuk dalam konteks politik dalam negeri dan internasional
yang memberi perhatian serius terhadap persoalan hak asasi manusia. Tekanan
internasional (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Jeneva) maupun nasional
(oleh berbagai organisasi non pemerintah, fragmentasi di kalangan elit) dan
peristiwa Santa Cruz di Timor Leste adalah beberapa faktor yang mempengaruhi
proses pembentukan tersebut. Pembentukan Komnas HAM dapat dilihat sebagai upaya
untuk mengatasi tekanan politik tersebut serta memberi citra positif pada rezim
maupun pribadi Soeharto. Tidak heran jika kemudian pembentukan itu menuai
berbagai keraguan –khususnya dari lingkungan aktivis LSM/ornop– akan kapasitas
Komnas HAM mempromosikan hak asasi manusia. Dalam kenyataan juga tingkat
pelanggaran hak asasi manusia saat itu masih sangat tinggi, meskipun demikian
Komnas HAM selama 9 tahun telah menunjukkan upaya menjaga kemandirian dari
intervensi pemerintah.[5]
Enam tahun kemudian, atau dua tahun setelah
pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum dirubah dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Undang-Undang ini juga memberi wewenang yang lebih kuat pada lembaga tersebut.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas
HAM memiliki mandat untuk:
a) mengembangkan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, baik yang ada dalam perangkat
hukum nasional maupun Deklarasi Universal Hak Asasi dan Piagam PBB (yang dalam
Pasal 55 dan 56 menunjuk pada DUHAM sebagai basis pemajuan hak asasi;
b) meningkatkan perlindungan
dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia
seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan;
Untuk mencapai tujuan
tersebut, Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi pokok, yaitu[6]:
a) Pemantauan.
b) Penelitian/pengkajian.
c) Mediasi.
d) Pendidikan.
Sejak itu pelaksanaan
empat fungsi tersebut dibagi dalam 4 sub komisi yaitu Sub Komisi Pemantauan,
Sub Komisi Penyuluhan, Sub Komisi Pengkajian/Penelitian dan Sub Komisi Mediasi.
Dalam hubungan keluar Komnas HAM bertindak sebagai satu kesatuan dan anggota
sub komisi dapat bertugas di sub komisi yang lain.
Struktur organisasi Komnas
HAM, sebagaimana diatur dalam pasal 78 – 82 menunjukan kelengkapan organisasi
yang terdiri atas:
1) Sidang
Paripurna
Sidang paripurna merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi, yang terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM. Sidang dapat
menetapkan peraturan tata tertib, program kerja, mekanisme kerja, mengusulkan
sidang paripurna kepada Presiden, memberhentikan anggota Komnas HAM, memilih
Sekretaris Jenderal, memilih serta menentukan Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM
dan mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM.
2) Sub Komisi
Sedangkan Sub Komisi yang terdiri atas empat
bidang merupakan pelaksana fungsi-fungsi yang ada, yang tugasnya sebagai
berikut:
(a)
Sub Komisi
pengkajian dan penelitian. Tugas pokok sub komisi ini adalah mengkaji berbagai instrumen
internasional hak asasi manusia dan berbagai peraturan perundang-undangan
disamping membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemajuan hak asasi. Untuk melengkapi tugas ini sub komisi berwenang melakukan
studi kepustakaan, lapangan maupun studi banding, penerbitan serta kerjasama
dengan pihak/organisasi lain.[7]
(b)
Sub Komisi
Penyuluhan.
Sub komisi ini pada dasarnya bertugas
melakukan diseminasi gagasan hak asasi manusia dan peningkatan kesadaran (awareness) masyarakat tentang hak asasi
manusia. Sub komisi juga dapat melakukan kerjasama dengan pihak/lembaga lain.
(c)
Sub Komisi
Pemantauan.
Tugas sub komisi ini adalah melakukan pengamatan
(monitoring) atas pelaksanaan hak
asasi manusia dan penyelidikan dan
pemeriksaan (investigasi) atas peristiwa yang dapat didugaterdapat
pelanggaran hak asasi manusia. Untuk melaksanakan tugas itu, berbeda dengan
Keppres yang lalu undang-undang memberi wewenang subpoena (memanggil secara paksa) kepada Komnas HAM dan melakukan langkah amicus curaei dalam pengadilan yang mengandung aspek pelanggaran
hak asasi manusia.
(d)
Sub Komisi
Mediasi.
Sub Komisi ini tidak ada sebelumnya dan
menimbulkan perdebatan.
Tugas pokok subkomisi adalah melakukan perdamaian dan penyelesaian perkara
melalui cara konsultasi, negosiasi, medisi, dan konsiliasi.
Di luar keempat fungsi ini Komnas HAM
berdasarkan Undang-Undang Pengadilan HAM memiliki kewenangan untuk melakukan
penyidikan pelanggaran hak asasi manusia yang dikategorikan berat. Sebuah
fungsi yang berhubungan dengan proses pemidanaan pelanggaran hak asasi manusia
3) Sekretariat
Jendral Sebagai Unsur Pelayanan.
Sebagai unsur pelayanan, Sekretariat Jendral
yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal bertugas memberi pelayanan administrasi
bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM. Pelaksanaan kegiatan sehari-hari termasuk
pemberian dukungan administrasi berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal.
Undang-undang menetapkan jumlah anggota Komnas
HAM lebih besar dari Keppres, yaitu 35 anggota dari sebelumnya 25 orang. Pada
tahun 1993-1997 aktualnya berjumlah 23 orang (komisioner), tahun 1997-2002
sebanyak 25 orang, tahun 2002-2007 sebanyak 23 orang dan tahun 2007-2012
sebanyak 11 orang. Dengan kata lain dalam praktek jumlah yang ditetapkan oleh
peraturan yang berlaku tidak pernah tercapai. Bahkan jumlah besar yang
dimaksudkan untuk menjamin keterwakilan justru banyak dirasa terlalu besar dan
menghambat kinerja Komnas HAM.
b. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (yang
selanjutnya akan disebut dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan
tentang adanya kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar
anak di Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk KPAI juga tidak dapat
dilepaskan dari dorongan dunia internasional. Komunistas internasional
menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di Indonesia. Banyaknya
kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak dalam konflik
senjata (childs soldier) seperti yang
terjadi di Aceh, tingginya angka putus sekolah, busung lapar, perkawinan di
bawah umur, trafficking, dan lain sebagainya telah memantik perhatian komunitas
internasional untuk menekan pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus
yang bertugas memantau kondisi perlindungan anak di Indonesia.
Tekanan internasional ini didasari oleh kondisi
bahwa Konvensi tentang Hak Anak (Convention
on the Righs of Child) adalah salah satu instrumen hak asasi manusia
internasional yang paling cepat dan paling banyak diratifikasi oleh berbagai
negara di dunia. Dalam waktu yang sangat dingkat Konvensi tentang Hak Anak
diratifikasi oleh seluruh negara anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan
Somalia. Oleh karenanya, banyak kalangan yang mengatakan bahwa Konvensi tentang
Hak Anak bersifat universal, hampir menyamai universalitas Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM).[8]
Dorongan komunitas internasional tersebut
kemudian memaksa pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto untuk
mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
mengamanatkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Secara
teknis, amanat pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia ditindak lanjuti
dengan pembuatan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan terakhir dengan
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003.
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak;
b. memberikan
laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
KPAI terdiri
dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua,
1 sekretaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama,
tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat yang
peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan KPAI
adalah lembaga ini diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan untuk
membentuk kelompok kerja di masyarakat dan juga membentuk perwakilan di daerah
yang keduanya ditetapkan oleh Ketua KPAI. KPAI bertanggungjawab langsung kepada
Presiden dan masa kenggotaannya adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak
Indonesia didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas,
kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.
c.
Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkat sebagai Komnas Perempuan
adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk
merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, khususnya isu
kekerasan terhadap perempuan. Karena mandatnya yang spesifik terhadap isu
kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada yang
mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai sebuah insitusi hak asasi manusia yang
spesifik, berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang
bersifat lebih umum mencakupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.
Komnas Perempuan didirikan
pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998, sebagai
jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait dengan peristiwa
yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998--di mana terjadi perkosaan massal
terhadap perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia.454
Pada saat itu, negara dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada
perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu, negara, dalam hal ini pemerintah
yang diwakili oleh Presiden RI, Habibie, menganggap bahwa negara harus
bertanggungjawab kepada korban dan kemudian melakukan upaya yang sistematis
untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
(a) Mandat Komnas Perempuan
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun
1998 yang diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun 2005,
maka keberadaan Komnas Perempuan bertujuan untuk:
1.
Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak
asasi perempuan di Indonesia;
2.
Meningkatkan upaya pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut, Perpres No. 65
tahun 2005 meletakkan 5 tugas yang harus dijalankan oleh Komnas Perempuan, yang
meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian dan penelitian, pemantauan,
rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional dengan penjabaran sebagai
berikut
1.
Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan (KTP) Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan serta penghapusan segala bentuk KTP;
2.
Melakukan Kajian dan penelitian terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen
internasional yang berlaku serta instrumen internasional yang relevan bagi
perlindungan hak asasi manusia perempuan;
3.
Melaksanakan pemantauan termasuk pencarian
fakta dan pendokumentasian tetang segala bentuk KTP dan pelanggaran hak asasi
manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan
pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
4.
Memberikan saran dan pertimbangan kepada
pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi
masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan
kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi
manusia perempuan;
5.
Mengembangkan kerjasama regional dan
internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
segala bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak
asasi manusia perempuan.
3.
Komisi
Ombudsman Nasional (KON)
Secara historis, dalam berbagai literatur,
Ombudsman pertama kali lahir di Swedia. Meskipun demikian pada dasarnya Swedia
bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman
Kekaisaran Romawi terdapat isntitusi Tribunal
Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak
masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan.[9]
Model lembaga pengawasan juga telah dikenal pada masa kekaisaran Cina dan yang
paling menonjol adalah pada masa Dinasti Tsin. Pada masa tersebut didirikan
lembaga pengawas yang bernama Control
Yuan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran
(pemerintah) dan bertindak sebagai ”perantara” bagi masyarakat yang ingin
menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada kaisar. Hinga saat ini Control Yuan masih dugunakan untuk
menyebut Ombudsman di Taiwan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan
pemerintahan dan penyelenggaraan peradilan di Taiwan. Namun jauh hari adanya Tribunal Plebis dan Control Yuan, sejarah tertua tentang pengawasan Ombudsman justru
ditemukan pada masa kekhalifahan
Islam.[10]
Sejarah ini diketemukan oleh Dean M. Gottehrer,
mantan Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat. Dia mengatakan bahwa
Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari
mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini dapat
diketemukan dalam pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab (634-644 M) yang saat
itu mendirikan Muhtasib, yaitu orang
yang menerima keluhan dan juga menjadi mediator dalam menguapayakan proses
penyelesaian perselisihan antara masyarakat dengan Khalifah Umar Bin Khattab.
Tugas seagai Muhtasib dijalankan oleh Khalifah Umar sendiri dengan melakukan
penyamaran dengan mengunjungi beberapa wilayah secara diam-diam guna mendengar
secara langsung keluhan rakyat terhadap pemerintah. Khalifah Umar kemudian
membentuk Qadi Al-Qudhat (Ketua Hakim
Agung) dengan ugas khusus melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang
pejabat pemerintah.
Di Swedia sendiri, sebagai negara yang secara
formal mendirikan dan menyebut lembaga pengawasan sebagai Ombudsman sendiri
sangat dipengaruhi oleh praktek di negara Turki yang saat itu menjalankan hukum
Islam. Pada tahun 1697-1718, Raja Swedia Charles XII melarikan diri ke Turki
karena situasi dalam negeri yang sangat kacau. Sebelum tahun 1709, Swedia
menganut sistem pemerintahan demokratik parlementer dan pada tahun 1709
tersebut situasi politik tidak stabil karena adanya ancaman monarki otokratik
dan kekuasaan yang tidak terkendali. Raja Charles XII melarikan diri ke Turki
karena kalah perang dengan Rusia pada The
Great Northern War (1700-1721).
Dari pengasingannya tersebut, Ia memerintahkan agar di Swedia dibentuk lembaga
pengawasan untuk meminimalisir kekacauan yang kemudian diberi nama Office of The King’s Highest Ombudsman
Ide mendirikan Ombudsman ini sangat dipengaruhi oleh sistem Turkish Office of Chief Justice. Dalam
sistem ketatanegaraan Turki, Chief Justice bertugas untuk melakukan pengawasan
terhadap penyelenggara negara guna menjamin bahwa hukum Islam harus diikuti dan
diterapkan oleh seluruh penyelenggara negara, termasuk Sultan sebagai pemimpin
tertinggi.
Keberadaan Ombudsman di Swedia menjadi saran
untuk mengontrol kekuasaan saat itu. Setelah Raja Charles XII meninggal, Office of The King’s Highest Ombudsman
diubah menjadi the Office of the
Chancellor of Justice (Chancellor of Justice). Pada tahun 1718, sebagian
besar kekuasaan raja dilimpahkan kepada Parlemen Swedia (Riskdad), sehingga Chancellor of Justice yang semula berada
di bawah raja kemudian menjadi bagain dari Parlemen. Pada akhirnya, secara
formal Ombudsman Parlementer dicantumkan di dalam Konstitusi Swedia pada tahun
1809.
Perkembangan Ombudsman sangat pesat, hal itu
ditandai dengan banyaknya negara yag mengadopsi sistem Ombudsman sebagai
lembaga pengawas penyelenggaraan pemerintahan. Setelah negara Swedia, Ombudsman
dibentuk di Finlandia (1919), Denmark (1955) dan kemudian berkembang hingga
saat ini telah lebih dari seratus negara yang membentuk Ombudsman termasuk
Indonesia yang membentuk Ombudsman pada tahun 2000.
Dilihat dari mekanisme pertanggungjawabannya,
ombudsman dapat dibedakan menjadi:
1.
Ombudsman
Parlementer, yaitu Ombudsman yang dipilih pleh parlemen
dan bertanggungjawab (laporan) kepada
Parlemen.
Ombudsman
Eksekutif, yaitu Ombudsman yang dipilih oleh Presiden,
Perdana Manteri atau Kepala Daerah,
dan bertanggungjawab (laporan) kepada Presiden, Perdana Manteri atau Kepala
Daerah.
Di Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional
dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun
2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk
dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta
untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat.[11]
Sebagai Presiden, Abdurrahman Wahid
berinisiatif membuka keran partisipasi masyarakat untuk turut serta mengawasi
kinerja pemerintahan. Hal ini didasarkan pada kondisi pemerintahan sebelumnya
yang sangat otoriter dan anti kritik, sehingga banyak hak masyarakat yang
terabaikan bahka terlanggar oleh berbagai kebijaka negara. Oleh karenanya,
Abdurrahman Wahid kemudian menandtangani Kepres No. 44 tahun 200 tentang Komisi
Ombudsman Nasional.
Menurut Kepres tersebut, Komisi Ombudsman
Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan
bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau
pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya
pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.[12]
a.
Tujuan, Tugas
dan Struktur Kelembagaan Komisi Ombudsman Nasional Indonesia
Presiden Abdurrahman Wahid mendirikan Komisi
Ombudsman Nasional dengan dua
tujuan, pertama, untuk membantu
menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, untuk meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar
memperoleh pelayanan umum, keadilan
dan kesejahteraan secara lebih baik. Tujuan tersebut diharapkan akan tercapai
dengan cara:
a)
Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman
mengenai lembaga Ombudsman kepada masyarakat luas;
b)
Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah,
Perguruan Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi
Profesi dan lain-lain;
c)
Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai
terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya
maupun dalam memberikan pelayanan umum;
d)
Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.[13]
Komisi Ombudsman Nasional dipimpin oleh seorang
Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua, serta anggota sebanyak-banyaknya 9
(sembilan) orang. Anggota Ombudman dipilih dan ditetapkan oleh Presiden dengan
keputusan Presiden. Dalam menjalankan aktifitasnya, Ombudsman memiliki susunan
organisasi sebagai berikut:
(a) Rapat Paripurna
Rapat paripurna
adalah rapat tertinggi
yang memegang otoritas
memutuskan persoalan yang
dihadiri oleh seluruh Anggota Ombudsman Nasilnal.
(b) Sub Komisi
Kegiatan Komisi
Ombudsman Nasional sehari-hari dilaksanakan oleh Sub Komisi yang terdiri
dari Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, Sub Komisi Penyuluhan
dan Pendidikan, Sub Komisi Pencegahan dan Sub Komisi Khusus. Setiap Sub Komisi
dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih oeh Rapat Paripurna. Pembagian tugas
masing-masing komisi adalah sebagai berikut :
(i)
Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan
Pemeriksaan
a.
Meminta klarifikasi dan melakukan monitoring
terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan berdasarkan laporan
serta informasi mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan
umum tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya.
b.
Meminta bantuan, melakukan kerjasama dan/atu
koordinasi dengan aparat terkait dalam melaksanakan klarifikasi atau
monitoring.
c.
Melakukan pemeriksaan terhadap petugas atau
pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna
memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d.
Menyampaikan hasil klarifikasi, monitoring atau
pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan aparat
penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
e.
Melakukan tindakan-tindakan lain guna
mengungkap terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh penyeenggara negara.
(ii)
Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan
a.
Melakukan penyuluhan guna mengefektifkan
pengawasan oleh masyarakat.
b.
Mengajak masyarakat melakukan kampanye dan
tindakan konkrit anti Korupsi, Kolusi dan nepotisme.
c.
Mendorong anggota masyarakat untuk lebih
menyadari akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan.
d.
Menyebarluaskan pemahaman mengenai Ombudsman
Nasional.
e.
Meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para
petugas Ombudsman Nasional.
f.
Menyelesaikan penyusunan konsep Rancangan
Undang-Undang tetang Ombudsman Nasional dalam waktu enam bulan sejak
ditetapkannya Keputusan Presiden ini.
(iii)Sub Komisi Pencegahan
a. Melakukan kerjasama dengan perseorangan,
Lembaga Swadaya masyarakat, Perguruan Tinggi, Instansi pemerintah untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara.
b. Memonitor dan mengawasi
tindak lanjut rekomendasi Ombudsman Nasional kepada mayarakat.
(iv) Sub Komisi
Khusus
a.
Menyusun dan mempersiapkan laporan rutin dan
insidentil.
b.
Melakukan tugas-tugas yang ditentukan secara
khusus oleh Rapat Paripurna.
(c) Sekretariat
Sekretariat dipimpin oleh sekretaris dan
bertuga memberi pelayanan adminatratif yang meliputi kepegawaian, keuangan,
perlengkapan, kerumahtangan serta sarana penunjang lainnyayang diperlukan bagi
kelancaran tugas Ombudsman.
(d) Tim Asistensi dan Staf Administrasi
Selain sub komisi, dalam melakukan pekerjaannya
Ombudsman dilengkapi dengan Tim Asistensi dan Staf Adminiatrasi. Tim Asistensi
terdiri dari tenaga yang memiliki kemampuan, pengalaman ataupun keahlian untuk
melaksanakan tugas berdasarkan mandat sub komisi. Tim asistensi biasanya
disebut sebagai Asisten Ombudsman.
Perkembangan terakhir hingga buku ini disusun,
sedang dilakukan upaya untuk menmperkuat kapasitas Komisi Ombudsman nasional.
Upaya tersebut dilakukan dengan menyusun Rancangan Undang-Undang tentang
Ombudsman Indonesia sebagai upaya penguatan kapasitas institusinya, sedangkan
berkaitan dengan efektifitas kerjanya Komisi Ombudsman Nasional melakukan
kerjasama dengan berbagai institusi baik negara maupun lembaga swadaya
masyarakat. Upaya penguatan juga dilakukan dengan munculnya Lembaga Ombudsman
Daerah di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa daerah yang telah memiliki
Ombudsman Daerah adalah:[14]
1.
Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (LOD DIY), didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.
2.
Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi Kalimantan
Tengah, didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.
3.
Komisi Pelayanan Publik --sebagai nama lain
dari Lembaga Ombudsman Daerah-- Propinsi Jawa Timur, didirikan berdasarkan
Peraturan Daerah.
4.
Lembaga Ombudsman Daerah Kabupaten Asahan,
didirikan berdasarkan Surat Keputusan Bupati.
5.
Lembaga Ombudsman Daerah Kabupaten Pangkal Pinang didirikan berdasarkan
Surat Keputusan Bupati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penegakan HAM
selalu mempunyai hubungan yang positif dengan tegaknya hukum di negara hukum
seperti Indonesia, sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan pengadiklan HAM
akan sangat berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar
undang-undang yang mengatur HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun
2000 dan HAM Ad Hoc akan membantu bangsa Indonesia untuk menegakan hukum dalam
HAM. Dengan itu berarti bangsa indonesia berhak menikmati kebenaran,
kesejahteraan, dan keadilan hukum di Indonesia. Dengan adanya hukum yang benar
maka dengan sendirinya kehidupan bernegapun akan berjalan dengan baik.
Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundan-undangan RI, dimana setiap
bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Penegakan HAM di Indonesia masih dirasa kurang,karena masih banyak terjadi
kasus-kasus pelanggaran HAM, baik kasus-kasus yang ringan maupun yang dapat
dikategorikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Upaya pemerintah dalam penegakan HAM kini mulai
terasa dengan dibentuknya beberapa lembaga HAM dan diharapkan dapat mewujudkan
keadilan dalam HAM setiap warga negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Rhona K. M.
Smith, at.al,Hukum Hak Asasi
Manusia, PUSHAM UII,
Yogyakarta: 2008
Budi Masturi, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2005
http://seraganmateri-hartokambaton.blogspot.co.id/2015/04/makalah-perlindungan-dan-pemajuan-ham.html
http://gapurana2.blogspot.co.id/
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD
1945.
UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
76 UU No. 39
tahun 1999.
Kepres No. 44
Tahun 2000
[1]
Lihat Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945.
[2]
Pasal 2 ICCPR.
[3]
Lihat sejumlah peraturan perundang-undang yang terkait dengan kemandirian
kekuasaan kehakiman, UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
[6] Pasal 76 UU No. 39 tahun 1999.
[9] Hal ini diungkapkan oleh Bryan gilling
dalam tulisannya The Ombudsman In New
Zealand sebagaimana dikutip oleh Budi Masturi, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm.
2
[11] Pasal 1 Kepres No. 44 Tahun 2000
[12] Pasal 2 Kepres No. 44 Tahun 2000
[13] Pasal 4 Kepres No. 44 tahun 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar