Rabu, 08 November 2017

makalah mekanisme perlindungan dan penegakan ham dan lembaga penegakan ham



KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya makalah yang kami buat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas untuk mata kuliah HUKUM DAN HAM.
Penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya
.


Medan, 25 Oktober 2017


                                                                                                            PENULIS






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang tentunya tidak dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya, karena ia berhadapan langsung dan harus menghormati hak yang dimiliki orang lain. Hak asasi manusia teriri atas dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Tanpa adanya kedua hak ini maka akan sulit untuk menegakkan hak asasi lainnya.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak untuk mengikuti kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut. Tuhan memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya.
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundmental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara.
Dengan demikian, hakikat pengormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan. Keseimbangan adalah antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer), dan negara.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Mekanisme Perlindungan dan penegakan ham di indonesia?
2.      Apa – apa saja lembaga perlindungan ham di indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mekanisme Perlindungan Dan Penegakan Ham di Indonesia
1.      Perlindungan ham
Setelah 15 tahun dari Reformasi 1998, jaminan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dalam tataran normatif semakin maju. Amandemen Kedua UUD 1945, telah memperkuat perlindungan HAM di Indonesia yang memastikan bahwa sejumlah hak-hak asasi yang diatur merupakan hak konstitusional.[1] Sebelumnya, Indonesia telah menyusun kebijakan HAM yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. XVII tahun 1998 tentang Hak asasi Manusia. Pada tahun 1999, terbentuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang juga menjamin berbagai hak-hak asasi warga negara. Setelah reformasi, berbagai UU terbentuk dan semakin memperkuat jaminan perlindungan HAM di Indonesia, termasuk melakukan ratifikasi/aksesi sejumlah instrumen HAM internasional, diantaranya “the International Covenant on Civil and Political Rights” (ICCPR) dan “the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights” (ICESCR).
UUD 1945 menjamin perlindungan HAM, misalnya pengakuan dan jaminan hak atas persamaan hukum, jaminan hak untuk bebas dari tindakan diskriminasi dalam berbagai bentuknya, hak untuk bebas dari penyiksaan, dan lain sebagainya. UU No. 39 tahun 1999, selain mengatur tentang berbagai hak yang dijamin, juga menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, serta mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sejak tahun 1998 hingga kini, dalam kebijakan yang lebih operasional, Pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Adanya RANHAM ini juga sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam bidang HAM.
Jaminan perlindungan HAM dalam berbagai peraturan tersebut, memberikan kewajiban kepada negara dan utamanya pemerintah terhadap hak- hak yang dijamin. Terlebih, setelah Indonesia meratifikasi 2 (dua) instrumen internasional pokok HAM (ICCPR dan ICESCR), menambah komitmen Indonesia dalam perlindungan HAM. Sebagai negara pihak dari Kovenan, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan segala upaya (hukum, legislatif, dan administratif, dan lainnya) untuk melindungi hak-hak yang dijamin dalam Kovenan.[2]
Komitmen negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi HAM tersebut yang kemudian dilakukan dengan terus menerus mengupayakan adanya pembentukan, perubahan, dan pencabutan regulasi-regulasi yang dimaksudkan untuk memperkuat perlindungan HAM.
Dalam bidang peradilan misalnya, adanya reformasi regulasi untuk mewujudkan adanya kemandirian peradilan (independence of the judiciary), dengan melakukan pemisahan kekuasaan eksekutif dan yudikatif, memberikan kewenangan kepada badan-badan peradilan untuk melaksanakan peradilan secara adil (fair) dan tidak memihak (impartial),[3] membentuk badan-badan khusus untuk melaksanakan pengawasan, dan menciptakan berbagai program pelatihan untuk membentuk aparat penegak hukum yang dan semakin profesional. Upaya-upaya perubahan untuk menjamin kesetaraan dan non diskriminasi juga terus diupayakan, misalnya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dan diskriminasi rasial. Tahun 1999 Indonesia meratifikasi “the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination” (CERD), yang kemudian tahun 2008 membentuk UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam bidang politik, reformasi regulasi terkait dengan pemilu dan pertisipasi publik dalam politik juga terus diperbaiki, bertujuan untuk memastikan berjalannya demokrasi. Pelembagaan prosedur-prosedur demokrasi telah berlangsung, misalnya pergantian pejabat publik melalui pemilihan umum yang bebas. Di parlemen, memungkinkan adanya lebih dari satu partai politik, DPD sebagai perwakilan daerah di tingkat nasional, pemilihan langsung presiden di tingkat nasional dan kepala pemerintahan di tingkat lokal (pilkada). Pelembagaan lain dari demokrasi adalah adalah Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan menguji kesesuaian UU dengan konstitusi yang merupakan hukum dasar Negara RI.
Dalam bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara dan pemerintah terus mengupayakan perbaikan pemenuhannya, misalnya dengan program akses pendidikan (anggaran 20% APBN), kesehatan (program kesehatan masyarakat, kartu sehat, dll), program perumahan untuk penduduk berpenghasilan rendah, dan sejumlah program kesejahteraan lainnya. Dalam konteks pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, terdapat berbagai rencana jangka pendek maupun panjang untuk memperbaiki kondisi pemenuhan hak-hak tersebut.
Melihat perkembangan tersebut, upaya-upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia merupakan kerja jangka panjang yang tidak boleh berhenti. Hal ini untuk memastikan pelaksanaan kewajiban negara dalam bidang HAM, dan juga memastikan penikmatan (enjoyment) HAM oleh warga negara.
Salah satu ciri dari negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM oleh negara kepada warga negara. Makna jaminan perlindungan di sini adalah bahwa negara memiliki kewajiban (state obligation) untuk mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarentee),  memenuhi (to fulfill), memastikan (to ensure) HAM.
a)      Mempromosikan artinya bahwa negara melalui alat-alat perlengkapannya baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki kewajiban untuk senantiasa mensosialisasikan pentingnya perlindungan HAM serta berbagai peraturan PerUUan di bidang HAM sehingga tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya HAM semakin meningkat.
b)      Melindungi artinya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi HAM setiap warga negara tanpa didasarkan atas diskriminasi agama, ras, suku, etnik, dsb. Negara tidak hanya memiliki kewajiban untuk proaktif memberikan perlindungan HAM setiap warga negaranya, namun juga negara tidak dobenarkan melakukan pembiaraan (act by ommission) terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dimasyarakat.
c)      menjamin perlindungan HAM artinya bahwa perlindungan HAM tidak hanya cukup dimaktubkan dalam tujuan negara (staat ide) atau tidak cukup hanya dituangkan dalam berbagai pasal dalam konstitusi, namun yang lebih penting adalah bagaimana negara menjamin pengakuan dan perlindungan HAM tersebut dituangkan dalam peraturan setingkat UU atau bahkan setingkat peraturan pelaksana seperti PP, Perda, Kepres, dan kebijakan lain baik di tingkat pusat maupun daerah.
d)     memenuhi artinya terhadap adanya pelanggaran HAM yang terjadi dan menimbulkan korban, negara memiliki kewajiban untuk segera memenuhi hak-hak korban dengan segera dan proporsional dengan tanpa disyaratkan dalam kondisi tertentu.
e)      memastikan artinya bahwa negara dapat memastikan bahwa pelaku pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawaban sesuai ketentuan peraturan perUUan
2.      Penegakan Ham
Penegakan HAM itu penting di lakukan di Indonesia Agar negara Indonesia tidak termasuk negara “unwillingness state” yaitu Negara yang tidak mempunyai kemauan menegakkan HAM. Agar tercipta keamanan, ketentraman, kedamaian kebahagiaan dan Kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
Setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat senantiasa menjunjung tinggi penghargaan tehadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan melalui tindakan progresif baik secara nasional maupun internasional. Namun manakala manusia telah memproklamasikan diri menjadi suatu kaum atau bangsa dalam suatu Negara, status manusia individual akan menjadi status warga Negara. Pemberian hak sebagai warga Negara diatur dalam mekanisme kenegaraan. Berikut ini langkah-langkah dalam upaya penegakan HAM di Indonesia adalah:
a.       Mengadakan langkah kongkret dan sistematik dalam pengaturan hukum positif
b.      Membuat peraturan perundang-undangan tetntang HAM
c.       Peningkatan penghayatan dan pembudayaan HAM pada segenap elemen masyarakat
d.      Mengatur mekanisme perlindungan HAM secara terpadu
e.       Memacu keberanian warga untuk melaporkan bila ada pelanggaran HAM
f.       Meningkatkan hubungan dengan lembaga yang menangani HAM
g.      Meningkatkan peran aktif media massa
              Dalam penegakan HAM di Indonesia perangkat ideologi pancasila dan UUD 1945 harus dijadikan acuan pokok, karena secara terpadu nilai-nilai dasar yang ada di dalamnya merupakan The Indonesia Bill Of Human Right
              Ada sejumlah kemajuan positif yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kerangka penegakan HAM, khususnya terkait dengan upaya perbaikan pada kerangka hukum dan institusi untuk mempromosikan HAM. Telah nampak dalam kerangka hukum, pemerintah Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan menyangkut HAM yang cukup positif. Pembuatan Undang-Undang (UU) HAM serta UU Perlindungan Saksi Mata, adalah beberapa kebijakan yang dilihatnya dapat memberi sentimen positif pada persoalan perlindungan HAM di Indonesia. Dibentuknya beberapa institusi penegakan HAM di Indonesia, seperti pengadilan HAM ad-hoc, Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan serta sejumlah organisasi HAM lainnya, juga merupakan usaha yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya penegakan HAM.


1)      Upaya pemerintah dalam menegakkan ham
              Dewasa ini banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam menegakkan HAM. Sangat perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat serius dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah sebagai berikut;
a)      Indonesia menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh dunia atau di setiap negara dan Indonesia sangat merespons terhadap pelanggaran HAM internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan kecaman Presiden atas beberapa agresi militer di beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak, Afghanistan, dan baru-baru ini Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas kepada Israel yang telah menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban sipil, wanita dan anak-anak.
b)      Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah ditunjukkan dalam prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas) dengan pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan kepres nomor 50 tahun 1993, serta pembentukan Komisi Anti Kekerasan terhadap perempuan
c)      Pengeluaran Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia , Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak asasi manusia.
d)     Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 melalui Kepres Nomor 50 tahun 1993. Keberadaan Komnas HAM selanjutnya di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 75 sampai dengan pasal 99. Komnas HAM merupakan lembaga negara mandiri setingkat lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai lembaga pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Komnas HAM beranggotakan 35 orang yang dipilih oleh DPR berdasarkan usulan Komnas HAM selama lima tahun dan dapat di angkat lagi hanya untuk satu kali masa jabatan.  
Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia .Komnas HAM dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 melalui Kepres  Nomor 50 tahun 1993. Keberadaan Komnas HAM selanjutnya di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 75 sampai dengan pasal 99. Komnas HAM merupakan lembaga negara mandiri setingkat lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai lembaga pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM. Komnas HAM beranggotakan 35 orang yang dipilih oleh DPR berdasarkan usulan Komnas HAM selama lima tahun dan dapat di angkat lagi hanya untuk satu kali masa jabatan.
e)      Melalui upaya pengadilan HAM. Pengadilan HAM di bentuk berdasrkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2000. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang di harapkan dapat melindungi HAM baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman, baik perseorangan maupun masyarakat. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat. Di samping itu, berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang di lakukan oleh Warga Negara Indonesia dan terjadi di luar batas teritorial wilayah Indonesia.
Menjadi titik berat adalah hal-hal yang tercantum dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia adalah sebagai berikut;
a)      Hak untuk hidup.
b)      Hak berkeluarga.
c)      Hak memperoleh keadilan.
d)     Hak atas kebebasan pribadi.
e)      Hak kebebasan pribadi
f)       Hak atas rasa aman.
g)      Hak atas kesejahteraan.
h)      Hak turut serta dalam pemerintahan.
i)        Hak wanita.
j)        Hak anak.
Ha-hal tersebut sebagai bukti konkret bahwa Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM.

B.     Lembaga Perlindungan Atau Penegakan Ham Di Indonesia
Dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, di samping dibentuk aturan-aturan hukum juga dibentuk kelembagaan yang menangani masalah penegakan hak asasi manusia. Berikut ini adalah lembaga-lembaga penegakan HAM di Indonesia:

1.      Mahkamah Konstitusi
Perkembangan  pengaturan  hak  asasi  manusia  di  Indonesia  telah dipengaruhi oleh perubahan politik setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun  1998. Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, misalnya, menghasilkan Ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disusul dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan lebih ekstensif tentang hak asasi manusia dicantumkan pula dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (tahun 2000), meskipun terdapat kemiripan rumusan antara hasil amandemen konstitusi dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Ketetapan No. XVII/ MPR/1998. [4]
Menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945, negara ­berkewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia (rumusan yang dalam instrumen interasional ­dirumuskan sebagai­ kewajiban to protect, to promote, to implement or enforce and to fulfill­ human­ rights). Bagaimana hak asasi manusia ditegakkan di hadapan ancaman-­ancaman kekuasaan yang tak perlu dan berlebihan, apa lagi yang bersalah guna (corrupt)? Dalam kaitan ini penting pula untuk memeriksa mekanisme  penyampaian keluhan public (public complaints procedure), peradilan administrasi/tata-usaha negara, peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA), peradilan hak asasi manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), maupun pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada dasarnya, secara strict wewenang Mahkamah Konstitusi menguji­ undang-undang terhadap konstitusi merupakan uji konstitusionalitas sehingga dikenal sebagai constitutional review. Dalam pelaksanaannya di Indonesia, dan berbagai negara, uji konstitusionalitas itu disandarkan kepada­ suatu alas hak (legal standing) bahwa undang-undang yang diuji telah merugikan hak dan/atau wewenang konstitusional pemohon constitutional review. Rumusan ini perlu sedikit dijelaskan. Pertama, dirumuskan sebagai “hak dan atau wewenang”. Wewenang konstitusional lebih terkait dengan ­kewenangan lembaga negara yang berhak pula untuk memohon constitutional review terhadap undangundang dalam hal suatu undang-undang dinilai bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini menyangkut kewenangan lembaga Negara pemohon pengujian). Kedua, hak konstitusional lebih dekat dengan ­jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara. Sudut pandang kedua ini akan dibahas lebih lanjut.
2.      Komisi Nasional
a.      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Komnas HAM dibentuk melalui Keppres No. 50 Tahun 1993. Ia dibentuk dalam konteks politik dalam negeri dan internasional yang memberi perhatian serius terhadap persoalan hak asasi manusia. Tekanan internasional (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Jeneva) maupun nasional (oleh berbagai organisasi non pemerintah, fragmentasi di kalangan elit) dan peristiwa Santa Cruz di Timor Leste adalah beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tersebut. Pembentukan Komnas HAM dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatasi tekanan politik tersebut serta memberi citra positif pada rezim maupun pribadi Soeharto. Tidak heran jika kemudian pembentukan itu menuai berbagai keraguan –khususnya dari lingkungan aktivis LSM/ornop– akan kapasitas Komnas HAM mempromosikan hak asasi manusia. Dalam kenyataan juga tingkat pelanggaran hak asasi manusia saat itu masih sangat tinggi, meskipun demikian Komnas HAM selama 9 tahun telah menunjukkan upaya menjaga kemandirian dari intervensi pemerintah.[5]
Enam tahun kemudian, atau dua tahun setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum dirubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang ini juga memberi wewenang yang lebih kuat pada lembaga tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki mandat untuk:
a)      mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, baik yang ada dalam perangkat hukum nasional maupun Deklarasi Universal Hak Asasi dan Piagam PBB (yang dalam Pasal 55 dan 56 menunjuk pada DUHAM sebagai basis pemajuan hak asasi;
b)      meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan;
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi pokok, yaitu[6]:
a)      Pemantauan.
b)      Penelitian/pengkajian.
c)      Mediasi.
d)     Pendidikan.
Sejak itu pelaksanaan empat fungsi tersebut dibagi dalam 4 sub komisi yaitu Sub Komisi Pemantauan, Sub Komisi Penyuluhan, Sub Komisi Pengkajian/Penelitian dan Sub Komisi Mediasi. Dalam hubungan keluar Komnas HAM bertindak sebagai satu kesatuan dan anggota sub komisi dapat bertugas di sub komisi yang lain.
Struktur organisasi Komnas HAM, sebagaimana diatur dalam pasal 78 – 82 menunjukan kelengkapan organisasi yang terdiri atas:
1)      Sidang Paripurna
Sidang paripurna merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang terdiri dari seluruh anggota Komnas HAM. Sidang dapat menetapkan peraturan tata tertib, program kerja, mekanisme kerja, mengusulkan sidang paripurna kepada Presiden, memberhentikan anggota Komnas HAM, memilih Sekretaris Jenderal, memilih serta menentukan Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dan mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM.
2)      Sub Komisi
Sedangkan Sub Komisi yang terdiri atas empat bidang merupakan pelaksana fungsi-fungsi yang ada, yang tugasnya sebagai berikut:
(a)   Sub Komisi pengkajian dan penelitian. Tugas pokok sub komisi ini adalah mengkaji berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dan berbagai peraturan perundang-undangan disamping membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan dan pemajuan hak asasi. Untuk melengkapi tugas ini sub komisi berwenang melakukan studi kepustakaan, lapangan maupun studi banding, penerbitan serta kerjasama dengan pihak/organisasi lain.[7]
(b)   Sub Komisi Penyuluhan. Sub komisi ini pada dasarnya bertugas melakukan diseminasi gagasan hak asasi manusia dan peningkatan kesadaran (awareness) masyarakat tentang hak asasi manusia. Sub komisi juga dapat melakukan kerjasama dengan pihak/lembaga lain.
(c)   Sub Komisi Pemantauan. Tugas sub komisi ini adalah melakukan pengamatan (monitoring) atas pelaksanaan hak asasi manusia dan penyelidikan dan pemeriksaan (investigasi) atas peristiwa yang dapat didugaterdapat pelanggaran hak asasi manusia. Untuk melaksanakan tugas itu, berbeda dengan Keppres yang lalu undang-undang memberi wewenang subpoena (memanggil secara paksa) kepada Komnas HAM dan melakukan langkah amicus curaei dalam pengadilan yang mengandung aspek pelanggaran hak asasi manusia.
(d)  Sub Komisi Mediasi. Sub Komisi ini tidak ada sebelumnya dan menimbulkan perdebatan. Tugas pokok subkomisi adalah melakukan perdamaian dan penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, medisi, dan konsiliasi.
Di luar keempat fungsi ini Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Pengadilan HAM memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan pelanggaran hak asasi manusia yang dikategorikan berat. Sebuah fungsi yang berhubungan dengan proses pemidanaan pelanggaran hak asasi manusia
3)      Sekretariat Jendral Sebagai Unsur Pelayanan.
Sebagai unsur pelayanan, Sekretariat Jendral yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal bertugas memberi pelayanan administrasi bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM. Pelaksanaan kegiatan sehari-hari termasuk pemberian dukungan administrasi berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal.
Undang-undang menetapkan jumlah anggota Komnas HAM lebih besar dari Keppres, yaitu 35 anggota dari sebelumnya 25 orang. Pada tahun 1993-1997 aktualnya berjumlah 23 orang (komisioner), tahun 1997-2002 sebanyak 25 orang, tahun 2002-2007 sebanyak 23 orang dan tahun 2007-2012 sebanyak 11 orang. Dengan kata lain dalam praktek jumlah yang ditetapkan oleh peraturan yang berlaku tidak pernah tercapai. Bahkan jumlah besar yang dimaksudkan untuk menjamin keterwakilan justru banyak dirasa terlalu besar dan menghambat kinerja Komnas HAM.
b.      Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (yang selanjutnya akan disebut dengan KPAI) dibentuk untuk merespon berbagai laporan tentang adanya kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak di Indonesia. Keputusan politik untuk membentuk KPAI juga tidak dapat dilepaskan dari dorongan dunia internasional. Komunistas internasional menyampikan keprihatinan mendalam atas kondisi anak di Indonesia. Banyaknya kasus pekerja anak, anak dalam area konflik, pelibatan anak dalam konflik senjata (childs soldier) seperti yang terjadi di Aceh, tingginya angka putus sekolah, busung lapar, perkawinan di bawah umur, trafficking, dan lain sebagainya telah memantik perhatian komunitas internasional untuk menekan pemerintah Indonesia agar membuat lembaga khusus yang bertugas memantau kondisi perlindungan anak di Indonesia.
Tekanan internasional ini didasari oleh kondisi bahwa Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Righs of Child) adalah salah satu instrumen hak asasi manusia internasional yang paling cepat dan paling banyak diratifikasi oleh berbagai negara di dunia. Dalam waktu yang sangat dingkat Konvensi tentang Hak Anak diratifikasi oleh seluruh negara anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia. Oleh karenanya, banyak kalangan yang mengatakan bahwa Konvensi tentang Hak Anak bersifat universal, hampir menyamai universalitas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).[8]
Dorongan komunitas internasional tersebut kemudian memaksa pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Secara teknis, amanat pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia ditindak lanjuti dengan pembuatan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003.
Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah:
a.      melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
b.     memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
KPAI terdiri dari 9 orang berupa 1 orang ketua, 2 wakil ketua, 1 sekretaris, dan 5 anggota yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.
Salah satu keunikan KPAI adalah lembaga ini diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan untuk membentuk kelompok kerja di masyarakat dan juga membentuk perwakilan di daerah yang keduanya ditetapkan oleh Ketua KPAI. KPAI bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan masa kenggotaannya adalah selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Mekanisme kerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektifitas, dan efisiensi.
c.       Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau sering disingkat sebagai Komnas Perempuan adalah sebuah institusi hak asasi manusia yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, khususnya isu kekerasan terhadap perempuan. Karena mandatnya yang spesifik terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak-hak perempuan maka ada yang mengkategorikan Komnas Perempuan sebagai sebuah insitusi hak asasi manusia yang spesifik, berbeda dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bersifat lebih umum mencakupi seluruh aspek dari hak asasi manusia.
Komnas Perempuan didirikan pada tahun 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998, sebagai jawaban pemerintah atas desakan kelompok perempuan terkait dengan peristiwa yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998--di mana terjadi perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa di beberapa daerah di Indonesia.454 Pada saat itu, negara dianggap telah gagal memberi perlindungan kepada perempuan korban kekerasan. Oleh karena itu, negara, dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Presiden RI, Habibie, menganggap bahwa negara harus bertanggungjawab kepada korban dan kemudian melakukan upaya yang sistematis untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan.
(a) Mandat Komnas Perempuan
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 tahun 1998 yang diperbaharui dalam Peraturan Presiden (PerPres) No. 65 tahun 2005, maka keberadaan Komnas Perempuan bertujuan untuk:
1.     Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan di Indonesia;
2.     Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut, Perpres No. 65 tahun 2005 meletakkan 5 tugas yang harus dijalankan oleh Komnas Perempuan, yang meliputi penyebarluasan pemahaman, kajian dan penelitian, pemantauan, rekomendasi dan kerjasama regional dan internasional dengan penjabaran sebagai berikut
1.     Menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan (KTP) Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk KTP;
2.     Melakukan Kajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang berlaku serta instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak asasi manusia perempuan;
3.     Melaksanakan pemantauan termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tetang segala bentuk KTP dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;
4.     Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia perempuan;
5.     Mengembangkan kerjasama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk KTP Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia perempuan.
3.      Komisi Ombudsman Nasional (KON)
Secara historis, dalam berbagai literatur, Ombudsman pertama kali lahir di Swedia. Meskipun demikian pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem pengawasan Ombudsman. Pada zaman Kekaisaran Romawi terdapat isntitusi Tribunal Plebis yang tugasnya hampir sama dengan Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan.[9] Model lembaga pengawasan juga telah dikenal pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol adalah pada masa Dinasti Tsin. Pada masa tersebut didirikan lembaga pengawas yang bernama Control Yuan yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan bertindak sebagai ”perantara” bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada kaisar. Hinga saat ini Control Yuan masih dugunakan untuk menyebut Ombudsman di Taiwan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan peradilan di Taiwan. Namun jauh hari adanya Tribunal Plebis dan Control Yuan, sejarah tertua tentang pengawasan Ombudsman justru ditemukan pada masa kekhalifahan Islam.[10]
Sejarah ini diketemukan oleh Dean M. Gottehrer, mantan Presiden Asosiasi Ombudsman Amerika Serikat. Dia mengatakan bahwa Ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan yang menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini dapat diketemukan dalam pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab (634-644 M) yang saat itu mendirikan Muhtasib, yaitu orang yang menerima keluhan dan juga menjadi mediator dalam menguapayakan proses penyelesaian perselisihan antara masyarakat dengan Khalifah Umar Bin Khattab. Tugas seagai Muhtasib dijalankan oleh Khalifah Umar sendiri dengan melakukan penyamaran dengan mengunjungi beberapa wilayah secara diam-diam guna mendengar secara langsung keluhan rakyat terhadap pemerintah. Khalifah Umar kemudian membentuk Qadi Al-Qudhat (Ketua Hakim Agung) dengan ugas khusus melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pejabat pemerintah.
Di Swedia sendiri, sebagai negara yang secara formal mendirikan dan menyebut lembaga pengawasan sebagai Ombudsman sendiri sangat dipengaruhi oleh praktek di negara Turki yang saat itu menjalankan hukum Islam. Pada tahun 1697-1718, Raja Swedia Charles XII melarikan diri ke Turki karena situasi dalam negeri yang sangat kacau. Sebelum tahun 1709, Swedia menganut sistem pemerintahan demokratik parlementer dan pada tahun 1709 tersebut situasi politik tidak stabil karena adanya ancaman monarki otokratik dan kekuasaan yang tidak terkendali. Raja Charles XII melarikan diri ke Turki karena kalah perang dengan Rusia pada The Great Northern War (1700-1721). Dari pengasingannya tersebut, Ia memerintahkan agar di Swedia dibentuk lembaga pengawasan untuk meminimalisir kekacauan yang kemudian diberi nama Office of The King’s Highest Ombudsman Ide mendirikan Ombudsman ini sangat dipengaruhi oleh sistem Turkish Office of Chief Justice. Dalam sistem ketatanegaraan Turki, Chief Justice bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna menjamin bahwa hukum Islam harus diikuti dan diterapkan oleh seluruh penyelenggara negara, termasuk Sultan sebagai pemimpin tertinggi.
Keberadaan Ombudsman di Swedia menjadi saran untuk mengontrol kekuasaan saat itu. Setelah Raja Charles XII meninggal, Office of The King’s Highest Ombudsman diubah menjadi the Office of the Chancellor of Justice (Chancellor of Justice). Pada tahun 1718, sebagian besar kekuasaan raja dilimpahkan kepada Parlemen Swedia (Riskdad), sehingga Chancellor of Justice yang semula berada di bawah raja kemudian menjadi bagain dari Parlemen. Pada akhirnya, secara formal Ombudsman Parlementer dicantumkan di dalam Konstitusi Swedia pada tahun 1809.
Perkembangan Ombudsman sangat pesat, hal itu ditandai dengan banyaknya negara yag mengadopsi sistem Ombudsman sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemerintahan. Setelah negara Swedia, Ombudsman dibentuk di Finlandia (1919), Denmark (1955) dan kemudian berkembang hingga saat ini telah lebih dari seratus negara yang membentuk Ombudsman termasuk Indonesia yang membentuk Ombudsman pada tahun 2000.
Dilihat dari mekanisme pertanggungjawabannya, ombudsman dapat dibedakan menjadi:

1.     Ombudsman Parlementer, yaitu Ombudsman yang dipilih pleh parlemen dan bertanggungjawab (laporan) kepada Parlemen.
Ombudsman Eksekutif, yaitu Ombudsman yang dipilih oleh Presiden, Perdana Manteri atau Kepala Daerah, dan bertanggungjawab (laporan) kepada Presiden, Perdana Manteri atau Kepala Daerah.
Di Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Komisi Ombudsman Nasional dibentuk dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat.[11]
Sebagai Presiden, Abdurrahman Wahid berinisiatif membuka keran partisipasi masyarakat untuk turut serta mengawasi kinerja pemerintahan. Hal ini didasarkan pada kondisi pemerintahan sebelumnya yang sangat otoriter dan anti kritik, sehingga banyak hak masyarakat yang terabaikan bahka terlanggar oleh berbagai kebijaka negara. Oleh karenanya, Abdurrahman Wahid kemudian menandtangani Kepres No. 44 tahun 200 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
Menurut Kepres tersebut, Komisi Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.[12]
a.      Tujuan, Tugas dan Struktur Kelembagaan Komisi Ombudsman Nasional Indonesia
Presiden Abdurrahman Wahid mendirikan Komisi Ombudsman Nasional dengan dua tujuan, pertama, untuk membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kedua, untuk meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik. Tujuan tersebut diharapkan akan tercapai dengan cara:

a)      Melakukan sosialisasi dan diseminasi pemahaman mengenai lembaga Ombudsman kepada masyarakat luas;
b)      Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain;
c)      Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggaraan negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum;
d)     Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional.[13]
Komisi Ombudsman Nasional dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua, serta anggota sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang. Anggota Ombudman dipilih dan ditetapkan oleh Presiden dengan keputusan Presiden. Dalam menjalankan aktifitasnya, Ombudsman memiliki susunan organisasi sebagai berikut:
(a)  Rapat Paripurna
Rapat  paripurna  adalah  rapat  tertinggi  yang  memegang  otoritas  memutuskan persoalan yang dihadiri oleh seluruh Anggota Ombudsman Nasilnal.
(b)  Sub Komisi
Kegiatan Komisi Ombudsman Nasional sehari-hari dilaksanakan oleh Sub Komisi yang terdiri dari Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan, Sub Komisi Pencegahan dan Sub Komisi Khusus. Setiap Sub Komisi dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih oeh Rapat Paripurna. Pembagian tugas masing-masing komisi adalah sebagai berikut :
(i)    Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan
a.      Meminta klarifikasi dan melakukan monitoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan berdasarkan laporan serta informasi mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya.
b.      Meminta bantuan, melakukan kerjasama dan/atu koordinasi dengan aparat terkait dalam melaksanakan klarifikasi atau monitoring.
c.      Melakukan pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.     Menyampaikan hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan aparat penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
e.      Melakukan tindakan-tindakan lain guna mengungkap terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh penyeenggara negara.
(ii)  Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan
a.      Melakukan penyuluhan guna mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat.
b.      Mengajak masyarakat melakukan kampanye dan tindakan konkrit anti Korupsi, Kolusi dan nepotisme.
c.      Mendorong anggota masyarakat untuk lebih menyadari akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan.
d.     Menyebarluaskan pemahaman mengenai Ombudsman Nasional.
e.      Meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para petugas Ombudsman Nasional.
f.       Menyelesaikan penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang tetang Ombudsman Nasional dalam waktu enam bulan sejak ditetapkannya Keputusan Presiden ini.
(iii)Sub Komisi Pencegahan
a.   Melakukan kerjasama dengan perseorangan, Lembaga Swadaya masyarakat, Perguruan Tinggi, Instansi pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara.
b.      Memonitor dan mengawasi tindak lanjut rekomendasi Ombudsman Nasional kepada mayarakat.
(iv) Sub Komisi Khusus
a.      Menyusun dan mempersiapkan laporan rutin dan insidentil.
b.      Melakukan tugas-tugas yang ditentukan secara khusus oleh Rapat Paripurna.
(c) Sekretariat
Sekretariat dipimpin oleh sekretaris dan bertuga memberi pelayanan adminatratif yang meliputi kepegawaian, keuangan, perlengkapan, kerumahtangan serta sarana penunjang lainnyayang diperlukan bagi kelancaran tugas Ombudsman.
(d) Tim Asistensi dan Staf Administrasi
Selain sub komisi, dalam melakukan pekerjaannya Ombudsman dilengkapi dengan Tim Asistensi dan Staf Adminiatrasi. Tim Asistensi terdiri dari tenaga yang memiliki kemampuan, pengalaman ataupun keahlian untuk melaksanakan tugas berdasarkan mandat sub komisi. Tim asistensi biasanya disebut sebagai Asisten Ombudsman.
Perkembangan terakhir hingga buku ini disusun, sedang dilakukan upaya untuk menmperkuat kapasitas Komisi Ombudsman nasional. Upaya tersebut dilakukan dengan menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Indonesia sebagai upaya penguatan kapasitas institusinya, sedangkan berkaitan dengan efektifitas kerjanya Komisi Ombudsman Nasional melakukan kerjasama dengan berbagai institusi baik negara maupun lembaga swadaya masyarakat. Upaya penguatan juga dilakukan dengan munculnya Lembaga Ombudsman Daerah di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa daerah yang telah memiliki Ombudsman Daerah adalah:[14]
1.     Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LOD DIY), didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.
2.     Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi Kalimantan Tengah, didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur.
3.     Komisi Pelayanan Publik --sebagai nama lain dari Lembaga Ombudsman Daerah-- Propinsi Jawa Timur, didirikan berdasarkan Peraturan Daerah.
4.     Lembaga Ombudsman Daerah Kabupaten Asahan, didirikan berdasarkan Surat Keputusan Bupati.
5.     Lembaga Ombudsman Daerah Kabupaten   Pangkal Pinang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Bupati.









BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Penegakan HAM selalu mempunyai hubungan yang positif dengan tegaknya hukum di negara hukum seperti Indonesia, sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan pengadiklan HAM akan sangat berperan penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar undang-undang yang mengatur HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 dan HAM Ad Hoc akan membantu bangsa Indonesia untuk menegakan hukum dalam HAM. Dengan itu berarti bangsa indonesia berhak menikmati kebenaran, kesejahteraan, dan keadilan hukum di Indonesia. Dengan adanya hukum yang benar maka dengan sendirinya kehidupan bernegapun akan berjalan dengan baik.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundan-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Penegakan HAM di Indonesia masih dirasa kurang,karena masih banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM, baik kasus-kasus yang ringan maupun yang dapat dikategorikan kasus pelanggaran HAM yang berat. Upaya pemerintah dalam penegakan HAM kini mulai terasa dengan dibentuknya beberapa lembaga HAM dan diharapkan dapat mewujudkan keadilan dalam HAM setiap warga negara Indonesia.













DAFTAR PUSTAKA
Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008
Budi Masturi, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005
http://gapurana2.blogspot.co.id/
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945.
UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
76 UU No. 39 tahun 1999.
Kepres No. 44 Tahun 2000



[1] Lihat Bab XA tentang Hak Asasi Manusia UUD 1945.
[2] Pasal 2 ICCPR.

[3] Lihat sejumlah peraturan perundang-undang yang terkait dengan kemandirian kekuasaan kehakiman, UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
[4] Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008

[5] Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008

[6] Pasal 76 UU No. 39 tahun 1999.

[7] Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008

[8] Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008

[9] Hal ini diungkapkan oleh Bryan gilling dalam tulisannya The Ombudsman In New Zealand sebagaimana dikutip oleh Budi Masturi, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm. 2

[10] Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008

[11] Pasal 1 Kepres No. 44 Tahun 2000
[12] Pasal 2 Kepres No. 44 Tahun 2000
[13] Pasal 4 Kepres No. 44 tahun 2000
[14] Rhona K. M. Smith, at.al,Hukum Hak Asasi Manusia,  PUSHAM UII, Yogyakarta: 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

makalah hadis tentang tanggung jawab kepemimpinan

Dalil boleh membatalkan sumpah jabatan, untuk mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi umat: Diriwayatkan oleh Muslim, 1650, dari A...